Artikel ini bertujuan untuk menganalisa terkait hukum pemaksaan perkawinan berkedok budaya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Aceh dan Negeri Selangor dalam persepktif keadilan gender dan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach) yaitu membandingkan aturan perundangan terkait hukum bagi pelaku kawin paksa di beberapa daerah di Indonesia dan Negeri Selangor Malaysia, serta ditarik analisa menggunakan metode komparatif (perbandingan) yaitu membandingkan sanksi hukum bagi pelaku kawin paksa berkedok tradisi budaya dan Malaysia perspektif keadilan gender hak asasi manusia dan hukum Islam. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Budaya Aceh dan Negeri Selangor begitu kental dengan hukum Islam, maka anak yang dilahirkan korban nasabnya harus jatuh kepada ayah biologisnya (pelaku). Selain itu, perkawinan dini juga terjadi di berbagai daerah termasuk Aceh Gayo. Budaya Negeri Selangor Malaysia, anak menerima calon pendamping hidup yang telah ditentukan oleh kedua orang tuanya atau kerabat dengan melalui perdebatan atau pertengkaran yang demikian alat bahkan otoritas (kekuasaan) yang dimiliki orang tua dalam hal ini mampu memaksa sedemikian rupa sehingga si anak tidak berdaya untuk menolak kehendak kedua orang tuanya. Hal ini menunjukan adanya dugaan kekerasan terhadap perempuan berbasis budaya di Aceh dan Selangor.
Copyrights © 2025