Sebagus apapun sistem penyelenggaraan pemilu yang dirancang, potensi terjadinya pelanggaran dan sengketa dapat mempengaruhi kualitas pemilu. Oleh karena itu, sistem pemilu yang baik harus memiliki mekanisme kelembagaan yang kredibel dalam mengatasi keluhan dan perselisihan yang muncul. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu dilakukan melalui multi lembaga. Pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu diselesaikan oleh Bawaslu, pelanggaran etik penyelenggara oleh DKPP, tindak pidana pemilu oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri, sedangkan perselisihan hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam praktiknya, penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu melalui multi lembaga tidak efektif, yang berdampak pada keadilan pemilu. Penelitian ini mengevaluasi efektivitas penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu melalui multi lembaga terhadap keadilan elektoral. Metode yang digunakan adalah normatif dengan data sekunder dan pendekatan filosofis, perundang-undangan, serta konseptual. Dengan menggunakan teori sistem hukum Lawren M. Friedman, disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui multi lembaga tidak efektif. Hal ini terlihat dari tidak adanya pedoman hukum acara yang komprehensif, serta adanya delegasi kewenangan yang menyebabkan regulasi yang tidak terintegrasi. Masalah struktural, seperti peran ganda Bawaslu, juga menghambat efektivitas penyelesaian sengketa. Selain itu, kurangnya integritas penyelenggara dalam menegakkan hukum pemilu turut memperburuk situasi.
Copyrights © 2025