Penerjemahan metafora di dalam pidato politik cukup menantang dilakukan karena selain pesan, efek metaforis juga harus dialihkan dengan baik agar terjemahan pidato itu menarik perhatian hadirin. Penelitian ini membahas penerjemahan metafora dalam dua pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada sidang Tahunan MPR RI, yaitu pada 16 Agustus 2021 dan 16 Agustus 2023. Penelitian kualitatif ini menganalisis data dengan menggunakan teori prosedur penerjemahan metafora (Newmark, 1980; Larson, 1998; Baker, 2018) dan spektrum ideologi (Jaya, 2018; Jaya, 2020). Data berupa dua buah pidato beserta terjemahannya yang diambil dari situs Sekretariat Kabinet RI. Terdapat delapan bentuk metafora dan 95 kasus penerjemahan metafora. Berbagai metafora itu diterjemahkan dengan empat prosedur penerjemahan metafora. Prosedur yang paling banyak diterapkan adalah metafora bercitra sama (n=60, 63,15%). Temuan lainnya adalah bahwa sebagian besar kasus penerapan prosedur penerjemahan berada pada posisi ideologi medial (n=48, 50,52%). Akan tetapi, ada kecenderungan bahwa penerjemah menerapkan domestikasi meskipun jumlah kasusnya relatif lebih sedikit (n=35, 36,84%). Hasil analisis menunjukkan bahwa penerjemah cenderung menerjemahkan secara setia dan berhati-hati, terutama untuk citra yang mengandung unsur politis. Penerjemah juga terlihat tidak melakukan intervensi yang berlebihan untuk meningkatkan kealamiahan teks sasaran karena citra-citra itu pada dasarnya dianggap telah dapat dipahami.
Copyrights © 2025