Pemaksaan perkawinan adalah ketika salah satu pihak dipaksa untuk menikah, umumnya hal ini terjadi pada perempuan karena dia dianggap melakukan pelanggaran adat atau alasan lain yang dianggap melakukan pelanggaran di komunitas tempat dia menetap. Korban dari praktik pemaksaan perkawinan seringkali adalah perempuan, karena perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur mekanisme pelaporan untuk memberikan perlindungan kepada korban melalui lembaga seperti UPTD PPA, kepolisian, dan lembaga sosial lainnya, yang wajib menyediakan pendampingan dan pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan penal terhadap pemaksaan perkawinan menurut perspektif UUTPKS. Mengenai upaya penanggulangan kejahatan melalui kebijakan penal terhadap pemaksaan perkawinan yang tentunya lebih menitikberatkan pada sifat "repressive" (penindasan / pemberantasan / penumpasan) sesudah suatu kejahatan terjadi, sedangkan jalur lainnya yaitu jalur "non-penal" yang akan lebih menitikberatkan pada sifat "preventive" (pencegahan / penangkalan / pengendalian) sebelum suatu kejahatan terjadi. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris dengan pendekatan studi kasus dan pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang melibatkan analisis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Diperlukan peningkatan sosialisasi, aksesibilitas, dan kualitas layanan untuk memastikan implementasi yang efektif dari mekanisme pelaporan tersebut. Dengan demikian, meskipun UU TPKS telah memberikan dasar hukum yang kuat, tantangan dalam implementasinya harus diatasi agar korban dapat memperoleh perlindungan yang optimal
Copyrights © 2024