Penerbitan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.007/10/2021 yang mengatur masa tunggu bagi laki-laki setelah perceraian talak raj'i memicu perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk tokoh NU dan Muhammadiyah Surabaya. Surat Edaran ini berbeda dari ketentuan idah pada umumnya yang hanya berlaku bagi perempuan setelah perceraian atau kematian. Penelitian ini mengkaji pandangan tokoh NU dan Muhammadiyah Surabaya mengenai larangan menikah bagi suami selama masa idah istri dalam hukum Islam, serta persamaan dan perbedaan pandangan mereka. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan tokoh NU dan Muhammadiyah Surabaya serta dokumentasi terkait seperti Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan jurnal. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan teori idah dalam hukum Islam adapun pola pikir yang digunakan adalah komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh NU Surabaya membuka peluang penerapan Surat Edaran tersebut jika ada penghalang, sejalan dengan Wahbah Al Zuhaili. Sebaliknya, tokoh Muhammadiyah Surabaya tidak setuju dengan penerapan Surat Edaran ini yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama. Kedua tokoh berpendapat sama mengenai pengertian idah, keberlaku bagi perempuan setelah perceraian atau kematian, landasan hukum yakni Al-Baqarah ayat 228 dan juga kaidah fikih tentang menghindari kemudhorotan. Adapun keduanya berbeda pada alasan atau situasi yang membolehkan masa tunggu untuk laki-laki, waktu menikah untuk laki-laki setelah bercerai, intepretasi kaidah menghindari kemadharatan, pandangan atas program penundaan pernikahan oleh KUA hingga masa idah istri habis serta fokus tanggapan terhadap poin Surat Edaran.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025