Isu orientasi seksual dan identitas gender telah menjadi salah satu fokus utama dalam perdebatan hak asasi manusia internasional, khususnya terkait perlindungan dan pengakuan terhadap kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT). Meskipun prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi telah lama diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), kelompok LGBT masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, kriminalisasi, dan eksklusi sosial di berbagai negara. Artikel ini membahas evolusi pengakuan hak-hak LGBT dalam sistem hukum internasional, termasuk peran soft law seperti Yogyakarta Principles serta resolusi Dewan HAM PBB yang menandai pergeseran paradigma ke arah inklusivitas. Melalui pendekatan normatif dan analisis yuridis, artikel ini mengevaluasi instrumen hukum yang relevan, dinamika geopolitik yang mempengaruhi implementasinya, serta sikap negara-negara dalam menerima atau menolak norma-norma internasional tersebut. Temuan menunjukkan bahwa meskipun terdapat kemajuan signifikan di beberapa negara dan forum internasional, resistensi terhadap pengakuan hak LGBT masih kuat di sejumlah kawasan, terutama yang dipengaruhi oleh ideologi konservatif, budaya tradisional, dan interpretasi agama. Oleh karena itu, perjuangan menuju pengakuan penuh terhadap hak-hak LGBT menuntut konsistensi norma internasional, kerja sama transnasional, serta penguatan advokasi masyarakat sipil untuk mewujudkan sistem hukum global yang benar-benar menjamin kesetaraan bagi semua individu.
Copyrights © 2025