Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan di Indonesia masih menjadi permasalahan yang berakar pada norma sosial, kurikulum, dan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung sistem edukasi yang inklusif. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat transformasi sosial, seringkali justru mereproduksi bias yang menghambat akses dan kesempatan setara antara perempuan dan laki-laki. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berbasis studi literatur, dengan kerangka teori sosiologi kritis, termasuk teori reproduksi sosial Bourdieu dan konsep hegemoni Gramsci, untuk menganalisis bagaimana struktur sosial patriarkal dan bias institusional terinternalisasi dalam praktik pendidikan. Data empiris menunjukkan bahwa partisipasi perempuan di pendidikan tinggi mencapai sekitar 57%, namun hanya 20%–30% yang terlibat secara aktif dalam bidang STEM, yang mengindikasikan kesenjangan signifikan dalam pendistribusian kesempatan akademik. Selain itu, penelitian mengenai stereotip dalam profesi guru pendidikan anak usia dini mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil (kurang dari 40%) calon pendidik laki-laki yang menembus pasar kerja, memperkuat anggapan bahwa profesi tersebut lebih cocok untuk perempuan. Temuan-temuan tersebut diperkuat oleh analisis kritis kebijakan kesetaraan gender yang menunjukkan bahwa implementasi konstitusional untuk melindungi hak-hak gender masih terhambat oleh budaya pendidikan yang cenderung membenarkan ketimpangan. Lebih lanjut, analisis diskursus di sekolah-sekolah mengindikasikan bahwa hanya sekitar 25% institusi yang melaksanakan pelatihan guru berbasis gender secara rutin, sedangkan kurangnya inovasi kurikulum yang responsif gender membuat stereotip sosial tetap bertahan.
Copyrights © 2025