Perkawinan anak di bawah usia 19 tahun masih menjadi persoalan serius di Indonesia, berdampak pada pendidikan, kesehatan, dan masa depan anak, terutama perempuan. Tulisan ini membahas pentingnya pencegahan dan penanganan perkawinan anak dari empat pendekatan: sosiologis, antropologis, Islam, dan kebijakan. Dari perspektif sosiologis dan antropologis, praktik ini berkaitan dengan norma sosial, kemiskinan, dan struktur kultural yang masih melembaga. Sementara dalam pandangan Islam, meskipun agama tidak secara eksplisit melarang usia tertentu, nilai maslahat dan perlindungan anak dijadikan dasar untuk menolak praktik ini. Dari sisi kebijakan, regulasi seperti UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan usia minimal perkawinan, namun implementasi dan kesadaran masyarakat masih menjadi tantangan. Tulisan ini menegaskan perlunya pendekatan multidisipliner untuk menghapus praktik perkawinan anak secara berkelanjutan.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025