Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik pemberian uang hantaran yang ditetapkan berdasarkan status boru (anak perempuan) pada masyarakat Kecamatan Kota Pinang, Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Penelitian ini juga mengkaji alasan mengapa praktik tersebut masih dipertahankan serta bagaimana pandangan ulama Kabupaten Labuhanbatu Selatan terhadap penetapan uang hantaran tersebut. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan pendekatan sosiologi hukum (legal sociology approach). Data primer diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat Kecamatan Kota Pinang dan ulama Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Kota Pinang masih terikat kepada adat yang sudah turun temurun dilakukan di kalangan masyarakat tersebut. Praktik uang hantaran tersebut ditentukan berdasarkan status boru (anak perempuan), dimana arti boru tersebut adalah urutan anak perempuan berdasarkan kelahiran dalam keluarganya dan tentunya seorang boru yang masih memiliki status gadis. Seperti boru sasada (anak perempuan tunggal), boru panggoaran (anak perempuan pertama), dan boru siapudan (anak perempuan terakhir). Pada dasarnya ulama menegaskan bahwa dalam ketetapan hukumnya uang hantaran berdasarkan status boru (anak perempuan) dilihat dari dua sisi, apabila uang hantaran berdasarkan status boru (anak perempuan) tersebut bertujuan untuk membantu pihak laki-laki dalam melangsungkan sebuah pesta pernikahan maka hukumnya mubah, namun apabila uang hantaran berdasarkan status boru (anak perempuan) tersebut mengakibatkan tingginya angka perzinahan dan kawin lari maka hukumnya menjadi haram.   Keywords: Uang Hantaran, Boru, Pendapat Ulama.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025