Karena kepraktisannya, perjanjian tidak resmi sering digunakan dalam operasi perusahaan. Namun, dalam sengketa perdata, tidak adanya tanda tangan menimbulkan keraguan atas penerimaannya sebagai alat bukti. Dengan menelaah aturan hukum yang relevan dan membandingkannya dengan tindakan nyata dan alat bukti lain dalam hukum acara perdata, penelitian ini berupaya menilai kekuatan pembuktian perjanjian tidak resmi yang tidak ditandatangani. Dengan menggunakan pendekatan hukum normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Mahkamah Agung, dan yurisprudensi dianalisis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kekuatan pembuktian perjanjian semacam ini bergantung pada sejumlah faktor, termasuk: (1) pengakuan lisan dan tertulis para pihak di pengadilan; (2) adanya alat bukti tambahan, seperti surat penawaran, tanda terima, saksi, dan rekaman; dan (3) keadaan seputar perjanjian, termasuk itikad baik, kesesuaian isi, kemampuan para pihak, dan keadaan sosial ekonomi mereka. Semakin kuat kombinasi unsur-unsur ini, semakin meyakinkan perjanjian tidak resmi tanpa tanda tangan dalam proses perdata.
Copyrights © 2025