Terpilihnya bupati petahana tidak terlepas dari kontribusi partai politik dan masyarakat sipil. Namun demikian, dalam berjalannya pemilihan bupati kerap kali mengalami degradasi dalam praktiknya. Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana petahana mampu bertahan dengan memanfaatkan partai politik dan masyarakat sipil. Untuk itu, tulisan ini bersandar pada data kualitatif yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dan Informan dipilih secara purposive sampling. Studi ini menemukan, dalam berjalannya pemilihan bupati terjadi praktik pelemahan dan intimidasi pada masyarakat sipil, dan oportunisme partai politik. Argumen penting lainnya, bupati petahana menjadi dominan dan semi otoriter dalam menjalankan kekuasaan. Terpilihnya bupati petahana bukan melalui citra yang positif, melainkan citra negatif yang telah terbangun, sehingga masyarakat tunduk dan patuh. Selain itu, mereka juga melemahkan dan mengintimidasi masyarakat sipil. Hal ini berimplikasi terhadap berjalannya kontestasi di Kabupaten Probolinggo. Menegaskan perbedaan, sekaligus menjadi perluasan pandangan dari penelitian sebelumnya. Bahwa dalam mempertahankan kekuasaan, bupati petahana tidak cukup hanya menguasai banyak partai politik, serta tidak harus membangun citra yang positif pada masyarakat untuk terpilih kembali.
Copyrights © 2024