Putusnya ikatan Pernikahan antara suami dan istri akibat perceraian sejatinya tidak menjadi penghalang bagi kedua orang tua untuk berlepas diri dari tanggung jawab terhadap anaknya. Seorang ayah masih dibebani tanggung jawab yang sama atas anaknya dalam hal pemberian nafkah serta menjadi wali yang sah bagi putrinya. Tindakan penelantaran anak yang dilakukan dengan penuh kesengajaan tidak hanya berupa pengabaian nafkah bagi anak, namun juga segala bentuk tindakan yang memutuskan hak-hak atas diri anak yang seharusnya ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui tentang hak-hak seorang anak pasca perceraian orang tua, sanksi hukum bagi ayah yang menelantarkan anak serta persamaan dan perbedaan hukum Islam dan hukum positif mengenai sanksi hukum bagi ayah yang menelantarkan anak pasca perceraian. Dalam melakukan penelitian penulis menggunakan pendekatan yuridis normative dengan metode penelitian deskriptif komparatif. Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder yang meliputi; quran hadits, Undang-undang, buku hukum dan KUHP. Hasil penelitian menunjukan bahwa Penelantaran anak merupakan suatu tindakan yang dilarang dan tergolong sebagai suatu tindak pidana yang tercantum dalam UU no 23 tahun 2004. Dalam hukum Islam maupun hukum positif penelantaran anak dapat di kenakan sanksi dan mempunyai dampak yang buruk pada anak. Kedua hukum tersebut dengan tegas menerangkan bahwa setiap tindakan kejahatan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sanksi pada tindakan penelantaran anak dalam hukum positif berupa penjara maupun denda. Adapun Islam mengkategorikan tindakan ini kedalam jarimah ta`zir yang bentuk dan kadarnya diserahkan pada ulil amri atau pihak yang berwenang menetapkan hukuman.
Copyrights © 2022