Penelitian ini membahas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang hadir sebagai respons negara terhadap kebutuhan regulasi yang lebih inklusif dan berpihak kepada korban. Salah satu pasal krusial dalam undang-undang ini adalah Pasal 4 ayat (1) yang merinci lima bentuk kekerasan seksual, yaitu: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan pemaksaan perkawinan. Unsur "pemaksaan" menjadi penentu utama dalam mengkualifikasikan suatu tindakan sebagai tindak pidana dalam konteks ini. Namun, tidak adanya definisi eksplisit mengenai unsur pemaksaan dalam undang-undang tersebut menimbulkan tantangan dalam proses pembuktian hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan menelaah undang-undang, doktrin, dan putusan pengadilan yang relevan. Temuan menunjukkan bahwa ketidakjelasan konsep pemaksaan menyebabkan disparitas putusan dan hambatan dalam penyidikan serta penuntutan perkara kekerasan seksual. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penafsiran progresif dan kontekstual oleh aparat penegak hukum serta penguatan peraturan teknis pembuktian berbasis pendekatan viktim-sentris dan perlindungan hak asasi. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam memperjelas unsur normatif pemaksaan serta mendorong reformasi sistem pembuktian perkara kekerasan seksual di Indonesia.
Copyrights © 2025