Penelitian ini menganalisis praktik Saman Pentas dengan pendekatan genealogi wacana Foucault. Fokus kajian pada pembatasan 15 artis Saman Pentas di Gayo Lues sebagai representasi budaya yang terbentuk oleh relasi kekuasaan dan kebijakan budaya. Hasil menunjukkan bahwa pembatasan ini bukan hanya keputusan teknis, tetapi bagian dari kontrol estetika dan legitimasi pemerintah, meski memicu ketegangan dengan masyarakat dan seniman lokal. Praktik Saman Pentas menjadi ruang negosiasi antara pelestarian tradisi, diplomasi budaya, dan tuntutan industri kreatif. Temuan ini menegaskan bahwa seni pertunjukan tidak lepas dari relasi kekuasaan dan dapat memperkaya diskursus kebijakan budaya.
Copyrights © 2025