Kasus dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama kampanye "War on Drugs" di Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte menjadi ujian tajam bagi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Meskipun Filipina secara resmi menarik diri dari Statuta Roma pada 2019, ICC tetap mengklaim yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi selama masa keanggotaan. Pada Maret 2025, Duterte ditangkap dan diserahkan ke ICC, menandai preseden penting dalam hukum internasional. Namun, proses ini tidak lepas dari politisasi, resistensi domestik, dan ketidakseimbangan geopolitik yang memperlemah kredibilitas penegakan hukum internasional. Artikel ini menggunakan metode normatif-empiris dan studi kasus untuk mengkritisi legitimasi yurisdiksi ICC, dinamika politik domestik Filipina, serta implikasi hukum dan politik dari kasus ini. Temuan menunjukkan bahwa meskipun ICC memiliki dasar hukum kuat, proses penegakan keadilan internasional masih sangat dipengaruhi oleh pertarungan politik dan kedaulatan nasional yang kompleks.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025