Studi ini menganalisis penerapan prinsip keadilan serta kepastian hukum dalam konflik tanah yang berkaitan dengan pemalsuan sertifikat hak milik, berdasarkan Putusan No.76/Pdt.G/2022/PN Tlg. Kasus ini melibatkan perselisihan antara Amin Tatik sebagai penggugat dan Ismiati sebagai tergugat sehubungan dengan tanah yang diperoleh melalui Akta Jual Beli No. 54 tahun 2012. Walaupun penggugat memegang SHM No. 32, hakim menolak tuntutan tersebut karena ketidakmampuan untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum oleh tergugat. Meskipun SHM telah ditetapkan sebagai alat bukti yang kuat dalam PP No. 24 tahun 1997, dianggap bermasalah secara substansial karena proses transisi yang tidak melibatkan pemilik yang sah dan melanggar Instruksi Mendagri No. 14 tahun 1982. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepastian hukum formal terkait keabsahan administratif dari SHM tidak selalu sejalan dengan keadilan substantif. Teori yang diajukan oleh John Rawls dan Gustav Radbruch menyoroti pentingnya hukum yang harus mengedepankan keadilan, meskipun dapat berbenturan dengan formalitas yang ada. Hal ini, hakim mengukuhkan diskriminasi ini dengan menolak SHM yang diperoleh dengan cara yang tidak sah, meskipun telah terdaftar. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum, seperti kesalahan, kerugian, serta hubungan kausal tidak dapat terpenuhi karena penggugat gagal menampilkan bukti konkret mengenai tindakan tergugat. Akibatnya, kepemilikan atas sertifikat tidak dapat dianggap mutlak jika bertentangan dengan prinsip itikad baik. Putusan ini merefleksikan keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum, di mana hukum perlu fleksibel untuk mencegah penyalahgunaan dari hak yang bersifat formal. Studi ini menekankan betapa pentingnya integritas dalam proses hukum serta peran hakim yang menerjemahkan hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025