Fenomena membolos sekolah di kalangan pelajar SMA di Kota Bontang menunjukkan kompleksitas sosial yang tidak bisa dipahami hanya sebagai bentuk pelanggaran disiplin semata. Kota industri ini, dengan ritme kerja orang tua yang tinggi dan minimnya interaksi keluarga, menjadi konteks penting dalam memahami tumbuhnya perilaku menyimpang remaja. Penelitian ini berangkat dari rumusan masalah: bagaimana interaksi sosial, desain ruang publik, dan struktur kelompok sebaya mempengaruhi perilaku membolos? Dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, penelitian ini mengacu pada teori asosiasi diferensial dari Edwin Sutherland. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap pelajar SMA Negeri 3 Bontang, guru BK, orang tua, Satpol PP, dan pelaku lingkungan sekitar Pujasera BSD—lokasi utama remaja membolos. Temuan menunjukkan bahwa perilaku membolos tidak bersifat individual, melainkan terorganisasi melalui grup WhatsApp yang memiliki norma internal sendiri, memperkuat identitas sosial sebagai “anak pembolos”. Desain ruang publik yang permisif, lemahnya kontrol sosial, serta tekanan kelompok sebaya berkontribusi besar dalam melanggengkan perilaku tersebut. Penelitian ini menyarankan perlunya pendekatan restoratif yang berbasis pada pemulihan relasi siswa dengan sekolah dan keluarga, serta intervensi lintas sektor dalam mengelola ruang sosial remaja.
Copyrights © 2025