Penelitian ini menganalisis secara komparatif dua pendekatan hermeneutika yang berpengaruh dalam filsafat kontemporer: Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer dan Dekonstruksi Jacques Derrida. Gadamer, melalui konsep fusi cakrawala, menekankan pentingnya tradisi dan dialog dalam memahami teks dan realitas, menjembatani kesenjangan antara subjek dan objek interpretasi. Fokusnya pada pengalaman hermeneutika sebagai kebenaran yang muncul dari pertemuan dengan tradisi menawarkan landasan bagi pemahaman yang berkelanjutan dan kontekstual. Di sisi lain, Derrida dengan dekonstruksinya menantang asumsi-asumsi dasar metafisika Barat, termasuk konsep makna dan kebenaran yang stabil. Melalui pembongkaran oposisi biner dan penyingkapan jejak-jejak teks, dekonstruksi Derrida mempertanyakan kemungkinan interpretasi yang final dan utuh, menyoroti sifat aporetik dari makna. Analisis ini tidak hanya menguraikan perbedaan fundamental antara kedua pemikiran ini, tetapi juga mengeksplorasi titik-titik persinggungan dan ketegangan di antara keduanya. Meskipun Gadamer berusaha mencapai pemahaman melalui dialog dan tradisi, Derrida justru menggugat kestabilan makna dalam fondasi tradisi itu sendiri. Dalam konteks pendidikan, perbandingan ini memiliki relevansi signifikan. Hermeneutika Gadamer mendorong pendekatan pedagogis yang menghargai dialog, pemahaman kontekstual, dan keterlibatan siswa dengan tradisi pengetahuan. Sementara itu, dekonstruksi Derrida menawarkan perspektif kritis yang mendorong siswa untuk mempertanyakan otoritas, dekonstruksi narasi dominan, dan mengembangkan pemikiran yang lebih mandiri dan multidimensional terhadap teks dan realitas. Dengan demikian, penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih kaya tentang implikasi filosofis interpretasi dalam praktik pendidikan.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025