Di era globalisasi saat ini, Perjanjian utang-piutang merupakan elemen penting dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam sektor properti seperti pembangunan apartemen. Ketika debitor gagal melaksanakan kewajibannya, UU KPKPU memberikan kesempatan bagi debitor untuk menghindari kepailitan melalui rencana perdamaian. Selanjutnya, permasalahan timbul ketika rencana perdamaian pada PKPU ditolak dan debitor dinyatakan pailit, tetapi kemudian kembali mengajukan perdamaian dalam proses kepailitan. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan perdamaian pada kepailitan pasca rencana perdamaian PKPU ditolak dan akibat hukum dari dikabulkan perdamaian dalam kepailitan yang diawali dengan penolakan dalam PKPU. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan memperhatikan bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa kajian literatur hukum, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan literatur pendukung lainnya. Dengan tujuan untuk memahami fenomena yang dimaksud dengan berlandaskan pada hukum yang berlaku. Melalui hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa pertama, perdamaian kedua yang sebelumnya telah gagal dalam proses PKPU secara yuridis tidak dapat dibenarkan dan seharusnya dinyatakan tidak sah dan kedua, akibat hukum dari dikabulkan perdamaian pada kepailitan setelah ditolaknya perdamaian pada PKPU ialah status debitor pailit dicabut dan mengembalikan kewenangan pengelolaan harta kepada perusahaan. Di samping itu, meskipun pelaksanaan rencana perdamaian dalam PKPU dan kepailitan di Indonesia telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Perlu adanya harmonisasi pengaturan PKPU dan Kepailitan dengan Peraturan Mahkamah Agung agar tercipta suatu kepastian hukum.
Copyrights © 2025