Diskriminasi terhadap karyawan perempuan hamil masih marak terjadi, utamanya dalam bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan hamil atau mengajukan cuti hamil. Praktik ini bertentangan dengan Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Undang-Undang tersebut secara tegas melarang PHK terhadap pekerja perempuan karena hamil, melahirkan, atau menyusui. Akan tetapi, implementasinya belum maksimal karena pengawasan yang lemah, rendahnya literasi hukum karyawan, dan masih dominannya budaya patriarki di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui telaah pustaka dan analisis kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pekerja perempuan yang di-PHK saat hamil tidak memperoleh hak-hak normatif berupa cuti hamil, upah, dan pesangon. Selain itu, mereka cenderung enggan melapor karena takut kehilangan pekerjaan atau tidak menjalani proses hukum yang berlaku. Untuk mengatasi kerepotan ini, perlu dibuat mekanisme pengaduan yang mudah dijangkau, layanan bantuan penjara yang longgar, serta peningkatan peran serikat pekerja alternatif dalam memberikan bantuan. Selain itu, penguatan pengawasan melalui pemerintah dan sanksi yang keras bagi korporasi yang melakukan pelanggaran penting dilakukan agar tercipta lingkungan kerja yang jujur dan menyenangkan bagi ibu hamil.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025