Pers mahasiswa merupakan bagian dari ekosistem pers Indonesia. Permasalahan yang dihadapi pers mahasiswa tidak jauh berbeda dengan pers umum. Tantangan pers mahasiswa dalam posisi yang rentan atas serangan fisik, intimidasi verbal, praktik doxing, sensor hingga pembredelan juga kadang terjadi. pada periode tahun 2020 sampai 2021 mencatat 185 kasus represi kepada pers mahasiswa, 48 kasus diantaranya pelaku dari pihak kampus sendiri. Ditambah lagi lembaga pers mahasiswa dapat dikatakan jauh lebih rentan, karena tidak benar – benar diakui secara eksplisit dalam ketentuan peraturan perundang – undangan. Undang – Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak menyebutkan pers kampus secara spesifik, hanya merujuk pada lembaga pers dengan badan hukum. Akibatnya, membuat posisi pers mahasiswa menjadi lemah, terutama bila produk jurnalistik pers mahasiswa dipermasalahkan, maka tidak dapat diselesaikan melalui proses mediasi di Dewan Pers. Baru di tahun 2024 ditandatangani kerjasama dalam bentuk Memorandum of Understading (MoU) antara Dewan Pers dan Ditjen DIKTI, di mana mulai terbuka jalan yang dapat melindungi Pers Mahasiswa serta bantuan konsultasi atau mediasi dari Dewan Pers.Paradigma penelitian ini yaitu konstruktivisme, dimana kebenaran merupakan suatu realitas sosial yang dilihat sebagai kontruksi sosial, dan kebenaran realitas sosial bersifat relatif. Sebagai pers kampus yang menjadi tempat berlatih para mahasiswanya untuk menjadi wartawan sungguhan, banyak tantangan. Mulai dari memilih topik, mencari narasumber, tuntutan harus cover bothsides hingga berlatih mengungkapkan topik investigatif. Oleh karena itu, adanya penandatangan kerja sama dalam bentuk memorandum of understanding atau MoU antara Dewan Pers dengan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen DIKTI) membuka pintu perlindungan bagi Pers Mahasiswa, setidaknya untuk melakukan konsultasi dengan Dewan Pers.
Copyrights © 2025