Variasi dialek adalah fokus utama dalam sosiolinguistik, terutama dalam konteks multibahasa dan multikultural di mana bahasa tidak hanya menyampaikan nilai komunikatif tetapi juga simbolis. Di Aceh Besar, dialek bahasa Aceh yang dituturkan di kecamatan-kecamatan seperti Kuta Cot Glie dan Seulimum sering kali diberi penanda sosial, mendapat penilaian negatif dari penutur di daerah lain. Studi ini menyelidiki sifat stigmatisasi dialek di dua kecamatan ini, dengan fokus pada persepsi masyarakat, sikap antar generasi, dan implikasinya terhadap identitas linguistik di kedua kecamatan tersebut. Menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan dari 60 responden (30 dari setiap kecamatan) melalui wawancara semi-terstruktur, diskusi kelompok terfokus, dan observasi partisipan. Analisis tematik mengungkapkan tiga temuan utama: (1) penutur yang lebih muda menyampaikan tingkat stigma yang lebih tinggi, sering diejek karena pola bicara "pedesaan" ketika berinteraksi di luar komunitas asal mereka; (2) peserta yang lebih tua mengungkapkan ketahanan dan keterikatan yang kuat pada dialek lokal, menganggapnya sebagai penanda keaslian dan identitas sejarah; dan (3) mobilitas sosial dan migrasi perkotaan memperburuk pergeseran dialek, dengan banyak responden muda beralih ke varietas Aceh atau Indonesia yang lebih "bergengsi" di bidang pendidikan dan profesional. Temuan ini menyoroti interaksi kompleks antara identitas lokal, hierarki linguistik, dan tekanan sosial di Aceh Besar. Studi ini berkontribusi pada perdebatan sosiolinguistik global tentang stigma, prestise, dan identitas dialek, sekaligus menawarkan implikasi praktis untuk kebijakan bahasa dan pelestarian budaya di Aceh. Kata kunci: Hasil Belajar Matematika, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Scramble dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).
Copyrights © 2025