Konsep plea bargain umumnya diterapkan di negara-negara yang menggunakan sistem adversary model dalam sistem peradilan pidana. Di dalam sistem adversary model cara penanganan perkara dengan melakukan perundingan atau negosiasi dengan para pihak antara terdakwa dan penuntut umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan penegakan hukum yang berlaku. Terdapat 53 negara yang memberlakukan plea bargain dan mayoritas adalah negara-negara dengan indeks persepsi korupsi tinggi. Argentina dan Filipina adalah dua negara yang memberlakukan plea bargain namun memiliki indeks persepsi korupsi rendah sama dengan Indonesia atau bahkan lebih rendah dari Indonesia. Penelitian ini untuk menganalisa pengaruh tingkat indeks persepsi korupsi terhadap kemandirian Jaksa dalam menyusun Plea agreement di Argentina dan Filipina serta untuk menganalisa bagaimana seharusnya konsep plea bargain di Indonesia melihat praktik pelaksanaan di Argentina dan Filipina. Penelitian ini menggunakan metode doctrinal, yaitu penelitian yang berbasis kepustakaan yang fokusnya adalah analisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Proses plea agreement antara jaksa dengan terdakwa di negara-negara dengan indeks persepsi korupsi rendah menjadi permasalahan, karena integritas aparat penegak hukum serta korupsi di dalam system peradilan pidana tidak dapat dipungkiri masih sangat tinggi. Indonesia belum memberlakukan plea bargain masih sebagatas pada plea guilty, dengan indeks persepsi korupsi yang mengalami stagnan bahkan kecenderungan turun dalam beberapa tahun terakhir seperti Argentina dan Filipina menjadikan konsep plea bargain dengan plea agreement akan menimbulkan potensi munculnya korupsi di bidang system peradilan pidana.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025