Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang sangat merugikan keuangan negara dan kesejahteraan publik. Berdasarkan Pasal 18 Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan berupa uang pengganti (restitusi) merupakan instrumen hukum untuk memulihkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan dan pelaksanaan pidana uang pengganti dalam putusan pengadilan, serta mengidentifikasi hambatan yang muncul ketika terpidana tidak memenuhi kewajiban pembayaran tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Data diperoleh melalui penelaahan peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta literatur hukum terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan telah menerapkan ketentuan Pasal 18 secara normatif dan mengklasifikasikan kerugian negara sesuai dengan ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2020. Namun, masih terdapat ketidakkonsistenan dalam penjatuhan pidana, khususnya terkait lamanya pidana penjara terhadap pelaku korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Pelaksanaan eksekusi juga menghadapi berbagai hambatan, seperti tidak adanya harta yang dapat dieksekusi dan gugurnya perkara akibat terpidana meninggal dunia. Kondisi ini mencerminkan lemahnya kepastian hukum dan terbatasnya efektivitas pemulihan kerugian negara.
Copyrights © 2025