Konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi suatu negara seharusnya memiliki mekanisme perubahan yang menjamin stabilitas sekaligus mampu beradaptasi dengan dinamika sosial-politik. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang rigid, namun berhasil diamandemen empat kali pada periode 1999–2002. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji aspek budaya amandemen (amendment culture) dalam mendorong perubahan UUD 1945 di tengah ketatnya prosedur formal yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan, serta analisis literatur terhadap teori Ginsburg dan Melton (2015) tentang budaya amandemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan UUD 1945 pasca-Reformasi tidak dapat dijelaskan semata oleh fleksibilitas prosedural, melainkan dipengaruhi oleh faktor kultural berupa kesadaran kolektif masyarakat dan elite politik terhadap kebutuhan reformasi konstitusional. Budaya amandemen tercermin dalam konsensus lintas partai, partisipasi aktif masyarakat sipil, desakralisasi konstitusi, dan keterbukaan terhadap pengaruh global. Temuan ini menegaskan bahwa dalam kasus Indonesia, aspek budaya memiliki pengaruh signifikan dalam menembus rigiditas hukum formal, serta menandai embrio terbentuknya budaya amandemen dalam praktik ketatanegaraan demokratis.
Copyrights © 2025