Penelitian ini menelaah pertanggungjawaban pidana atas penyalahgunaan dana di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan fokus pada batas penerapan tindak pidana korupsi terkait keuangan negara. LPD merupakan lembaga keuangan milik desa adat dengan dana berasal dari kontribusi masyarakat, sehingga secara formal tidak termasuk dalam APBN maupun APBD. Namun, praktik peradilan kerap mengaitkan kasus penyalahgunaan dana LPD dengan delik korupsi, menimbulkan perdebatan mengenai relevansi unsur kerugian keuangan negara. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif melalui analisis peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi, serta doktrin hukum pidana dan keuangan negara untuk menegaskan kerangka konseptual pertanggungjawaban pidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua penyalahgunaan dana LPD otomatis termasuk tindak pidana korupsi, terutama jika tidak terbukti adanya kerugian nyata terhadap keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Aset LPD lebih tepat dipandang sebagai aset komunitas adat, sehingga pelanggaran lebih relevan dikualifikasikan sebagai penggelapan atau penggelapan dalam jabatan menurut Pasal 372 dan 374 KUHP. Penelitian ini menegaskan pentingnya pembedaan antara kerugian negara dan kerugian komunitas adat agar penegakan hukum sejalan dengan asas legalitas dan prinsip proporsionalitas. Selain itu, diperlukan regulasi yang lebih spesifik mengenai mekanisme pertanggungjawaban pidana dan perdata bagi pengelola LPD, guna menjamin keberlanjutan fungsi LPD sebagai lembaga ekonomi adat sekaligus memastikan akuntabilitas pengelolaan dana masyarakat.
Copyrights © 2025