AbstractThe advancement of science and technology has scratched out the form and meaning in the tradition of ngamek ari as a reciprocity that lives in the society of Banyuasin regency, especially in Petaling village. Therefore, this article examines the form and meaning of reciprocity in ngamek ari tradition through data required from the perpetrators of reciprocity. The method used is descriptive qualititave method by recording and taking notes with active participant technique. The results show that there are three forms of ngamek ari: ngamek ari with energy, ngamek ari with materials or good, and ngamek ari with money (auction). The person who becomes the object to ngamek ari is obliged to return (mayar utang) more (ngiring) or equivalent as received. The conclusion is that Banyuasin III society, especially Petaling villagers do the tradition of ngamek ari aim to lighten the burden of the owner of the celebration or work.Keywords: ngamek ari, reciprocity, tradition AbstrakKemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggerus bentuk dan makna resiprositas dalam tradisi ngamek ari yang hidup di tengah masyarakat Banyuasin III, khususnya di desa Petaling. Sebab itulah, artikel ini mengkaji bentuk dan makna resiprositas dalam tradisi ngamek ari yang ada di tengah masyarakat melalui data yang bersumber dari pelaku resiprositas. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik rekam dan simak libat cakap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga bentuk ngamek ari, yaitu ngamek ari dengan tenaga, bahan atau barang, dan uang (lelang). Orang yang menjadi objek untuk ngamek ari wajib mengembalikan (mayar utang) lebih (ngiring) atau minimal setara dengan bantuan yang telah dia terima. Kesimpulanya bahwa masyarakat Banyuasin III, khususnya desa Petaling melakukan tradisi ngamek ari bertujuan meringankan beban pemilik hajatan atau kerja.Kata kunci: ngamek ari, resiprositas, tradisi
Copyrights © 2019