Di Indonesia, pernikahan dipandang sebagai tahapan penting dan nyaris menjadi keharusan dalam kehidupan. Namun, banyak generasi milenial yang memilih untuk tetap melajang karena merasa takut berkomitmen dalam pernikahan. Keputusan ini sering menimbulkan perdebatan dan stigma negatif, terutama di lingkungan keluarga besar yang masih menjunjung tinggi tradisi pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai menjomblo dalam perspektif hukum perkawinan Islam melalui pendekatan psikologis. Metodologi yang digunakan berbasis kepustakaan melalui pendekatan psikologis dan analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitis. Tidak menikah atau menjomblo dapat memiliki dampak psikologis yang beragam, seperti kesepian, stigma sosial, dan dukungan emosional. Rasulullah memberi wasiat kepada para jomblo dengan dua pilihan. Pertama, jika seseorang sudah cukup hartanya, maka segeralah menikah. Jika belum mampu, dianjurkan untuk berpuasa. Dalam kitab Al-Badru Tamam, yang merupakan penjelasan atas hadis-hadis dalam Bulughul Maram dinyatakan bahwa sunnah para nabi dalam pernikahan bukan sekadar lawan dari kewajiban, melainkan merupakan bagian dari pedoman hidup yang harus dijalani. Menjomblo karena alasan yang dibenarkan syariat tidak diharamkan, sebagaimana para tokoh Islam yang mengabdikan diri pada ilmu. Namun, menjomblo karena membenci pernikahan diharamkan karena bertentangan dengan syariat. Dalam Islam, status menjomblo bukan pelanggaran hukum, karena seseorang bisa memilih tidak menikah jika belum menemukan pasangan yang sesuai atau memiliki alasan sah untuk menunda pernikahan.
Copyrights © 2025