Perkembangan teknologi digital dalam kurun 2015–2025 telah merevolusi cara komunikasi dan konstruksi jender, sehingga memberi ruang bagi ekspresi gender yang lebih fleksibel. Penelitian ini meninjau literatur terkait praktik ekspresi jender di platform digital seperti Instagram, TikTok, forum daring, dan komunitas gaming. Metode yang digunakan adalah kualitatif-literature review, dengan analisis pada artikel jurnal peer-reviewed (2015–Mei 2025) yang difokuskan pada ekspresi identitas maskulin, feminin, dan non-biner, framing advokasi digital, serta dinamika pelecehan berbasis jender di dunia maya. Hasil kajian menunjukkan bahwa Generasi Z dan milenial memanfaatkan fitur multimodal—seperti filter, emotikon, GIF, dan hashtag—untuk membangun “self-branding” jender yang mengaburkan perbedaan tradisional. Identitas non-biner semakin muncul melalui pilihan avatar netral dan penggunaan pronoun “mereka” atau “they/them”. Meskipun ruang digital menawarkan peluang inklusif, bentuk pelecehan (misogini digital, slut-shaming, transfobia) masih marak terjadi, sementara moderasi platform di Indonesia hanya menindaklanjuti sekitar 30% laporan. Selain itu, perbedaan gaya komunikasi maskulin (kompetitif, langsung) dan feminin (kolaboratif, emotif) memudar di medium digital karena emotikon dan GIF menjadi penanda nuansa emosional, dan pengguna non-biner mengembangkan gaya komunikasi hibrid. Implikasi penelitian menekankan pentingnya literasi digital jender dan peningkatan moderasi agar ruang maya menjadi lebih aman dan inklusif.
Copyrights © 2025