Hakim memiliki kebebasan penuh untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan. Tidak ada ketentuan yang mengikat secara ketat mengenai nilai pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut. Dalam konteks teori pembuktian, Indonesia menganut teori pembuktian campuran (gemengde bewijs theorie), yaitu gabungan antara pembuktian bebas dan terikat, maksudnya Hakim memiliki kebebasan menilai bukti, tetapi tetap terikat pada syarat minimal dua alat bukti dan keyakinan. Prinsip minimum bewijs dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, menetapkan bahwa seorang terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, kemudian Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Prinsip ini bertujuan menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi terdakwa. Namun, dalam praktiknya, efektivitas prinsip ini menghadapi tantangan serius, terutama dalam era digital dan dalam kasus-kasus yang bergantung pada keterangan saksi. Bukti elektronik sering sulit diverifikasi keabsahannya, dan saksi dapat dipengaruhi oleh tekanan atau iming-iming. Prinsip ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi terdakwa, mencegah pemidanaan yang sewenang-wenang, dan menjamin bahwa putusan pidana didasarkan pada bukti yang cukup dan meyakinkan. Dalam penulisan ini Peneliti mengkaji. 1. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam penerapan prinsip minimum bewijs, khususnya terkait bukti digital dan keterangan saksi? 2. Bagaimana efektivitas prinsip minimum bewijs dalam konteks sistem pembuktian pidana Indonesia. Selanjutnya Peneliti mengkaji dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris, serta analisis terhadap praktik peradilan dan pendapat para ahli hukum.
Copyrights © 2025