Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

URGENSI KEDUDUKAN HUKUM PEMBUKTIAN ALAT BUKTI DALAM PRAKTEK PERADILAN PIDANA DI HUBUNGKAN DALAM SISTEM HUKUM         INDONESIA Tuahuns, Irsyad Zamhier
Bulletin of Law Research Vol. 2 No. 1: Bleach: Bulletin of Law Research (2025 June)
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bagaimana urgensi kedudukan hukum pembuktian alat bukti dalam praktik peradilan pidana di hubungkan dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai penjelasan bahwa penelitian ini dalam lingkup disiplin ilmu hukum yang di fokuskan dalam hukum pidana. Kemudian pendekatannya menggunakan bahan pustaka atau metode pendekatan secara normatif. Berdasarkan  dengan analisis terkait hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembuktian dalam hukum pidana, ialah teramaturgen dasarnya pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan kesalahan seseorang dapat dijatuhkan sanksi pidana, dibebaskan dari tuntutan maupun dakwaan. Putusan pengadilan merupakan output dari rangkaian proses peradilan dalam sistem hukum Indonesia yang secara khususnya dapat mencerminkan keadilan dalam putusan tersebut. Hukum pembuktian menurut pengertian ialah serangkaian kaidah atau aturan yang terdiri dari  cara pelaksanaan pada persidangan pidana, perdata, maupun tata usaha negara pada pengadilan yang memiliki otoritas di Indonesia, kemudian terkait dengan pembuktian merupakan proses bagaimana alat bukti dipergunakan, diajukan atau dipertahankan di dalam hukum acara yang berlaku. Hukum pembuktian pada persidangan hukum acara pidana dipahami merupakan ketentuan yang membatasi dalam sidang pengadilan untuk mencari serta mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum. Secara aspek dalam pembuktian berdasarkan rangkaiannya dimulai melalui tahap penyelidikan dan selanjutnya penjatuhan hukuman oleh hakim di pengadilan. Rangkaian ini ialah sebagai upaya untuk menemukan kebenaran materiil. Alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHP terdiri Keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa[1]. Berdasarkan uraian tersebut yang dijelaskan dalam hal ini melatarbelakangi permasalahan yang akan disajikan penulis adalah 1. Apakah urgensi kedudukan hukum pembuktian alat bukti dalam praktik peradilan pidana di hubungkan dalam sistem hukum Indonesia? 2. Bagaimanakah pengaturan mengenai barang bukti dan alat bukti dalam hukum acara pidana? Sebagai penjelasan bahwa penelitian ini dalam lingkup disiplin ilmu hukum yang di fokuskan dalam hukum pidana. Kemudian pendekatannya menggunakan bahan pustaka atau metode pendekatan secara normatif. Berdasarkan  dengan analisis terkait hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembuktian dalam hukum pidana ialah teramaturgen dasarnya pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan kesalahan seseorang dapat dijatuhkan sanksi pidana, dibebaskan dari tuntutan, dakwaan. Selanjutnya Putusan pengadilan merupakan output dari rangkaian proses peradilan dalam sistem hukum Indonesia. Dalam sistem tersebut terdapat proses yang terdiri, dakwaan, requisitor penuntut umum, dan segala fakta dan keadaan yang terbukti dalam proses sidang pengadilan, selain itu dalam pengambilan putusan dalam perkara perdata dan pidana dimulai melalui musyawarah hakim terlebih dahulu sebelum diputuskan.
Dampak Covid 19 Serta Kedudukan Surat Keterangan Dokter Sebagai Pengecualian Atas Ketidakhadiran Tersangka Dalam Persidangan Kasus Korupsi Tuahuns, Irsyad Zamhier
Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 10 No. 1 (2021): Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34304/jf.v10i1.31

Abstract

Pandemi Covid-19 di Indonesia telah membatasi ruang gerak masyarakat, termasuk jajaran/unsur sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemberantasan korupsi, karena semua orang sangat takut terpapar Covid-19. Penyelewengan dan penyimpangan Surat Keterangan Dokter akan mudah terjadi. Terdapat kecenderungan kuat di kalangan penegak hukum, bahwa surat keterangan dokter merupakan alat bukti yang kuat, dan tidak dapat diganggu gugat. penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, penegak hukum belum membudayakan pemeriksaan dan memastikan surat keterangan dokter asli atau palsu serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan profesional. Di samping itu, juga belum pernah meminta second opinion dari dokter yang lain, untuk memeriksa kesehatan seseorang yang dinyatakan sakit dan berhalangan untuk hadir dalam proses peradilan, dari dokter sebelumnya.
ANALISIS YURIDIS CONVICTION RASIONEE  HAKIM DIHUBUNGKAN CRICUMTANSIAL EVIDENCE MELALUI KUHP DIKAJI MELALUI PUTUSAN NOMOR: 777/PID.B/2016/PN.JKT.PST TUAHUNS, IRSYAD ZAMHIER
Bulletin of Law Research Vol. 1 No. 1 (2024): BLEACH (Bulletin of Law Research)
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bukti tidak langsung digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan perkara Mahkamah Agung nomor 777/PID. B/2016/pn.jkt.pst, dalam hal ini tidak ada saksi mata yang melihat pembunuhan tersebut, sebagaimana diketahui berdasarkan prinsip hukum bahwa pembuktian tidak langsung tidak diakui dalam kitab Undang-undang, KUHP. Kemudian dalam putusan tersebut dapat menimbulkan konflik norma, serta ambiguitas hukum dan ketidakpastian hukum terhadap asas-asas dasar hukum di Indonesia. Apakah bukti tidak langsung dapat diterapkan dalam hukum positif di Indonesia? Lalu, bagaimana Conviction Rasionee, Circumstantial Evidence, hakim menjatuhkan hukuman? Khusus untuk penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan hukum secara normatif dan pendekatan perundang-undangan, serta norma hukum, pendekatan kasus dan didukung dengan analisis yuridis Penelitian  dengan judul Analisis yuridis Conviction Rasionee  Hakim Dihubungkan Circumnstial Evidence Melalui KUHP Dikaji Melalui Putusan Nomor: 777/PID.B/2016/PN.JKT.PST merupakan salah satu studi yang cukup jarang dilakukan, diteliliti menginggat penelitian yang dikaji penulis sangat berbeda. Penulis mengkaji dari segi rasional hakim dalam menjatuhkan pidana kemudian dikaitkan dengan KUHP serta putusan. Penulis juga mengakaji secara teoritis dengan menggunakan 3 teori yaitu pembuktian hukum, penegakan hukum dan teori keadilan hukum.
ANALISIS EFFECT OVER CAPACITY RUMAH TAHANAN NEGARA LAPAS KEBUN WARU BANDUNG DIHUBUNGKAN DENGAN PERWUJUDAN HAM DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA TUAHUNS, IRSYAD ZAMHIER
Bulletin of Law Research Vol. 1 No. 2 (2024): Bleach: Bulletin of Law Research
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah over kapasitas Rumah Tahanan Negara merupakan tempat penahanan sementara untuk para tersangka atau belum terbukti atau belum mendapatkan vonis dalam persidangan. Permasalahan mendasar di dalam Negara Indonesia ialah terbatasnya kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang sering kali dijumpai tidak dapat menampung narapidana, sehingga rutan menjadi alternatif yang tepat untuk menggantikan fungsi lapas. Kemudian terkait permasalahan over kapasitas rumah tahanan ini selanjutnya dikembangkan menjadi Penelitian yang difokuskan pada analisis impact over kapasitas Rumah Tahanan negara Lapas Kebun Waru Bandung dihubungkan dengan perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hukum positif Indonesia.  Selanjutnya peneliti mencoba mengembangkan pokok permasalahan menjadi acuan dalam memecahkan suatu permasalahan yang akan diteliti dengan menggunakan berbagai pendekatan yaitu kemanfaatan hukum serta aspek keadilan. Bagaimanakah Upaya dalam penanganan over kapasitas terhadap warga binaan pemasyarakatan di rumah tahanan negara kebun waru Bandung? Kemudian metode penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan melalui pendekatan bahan hukum primer, sekunder kemudian tersier. Jika diamati dalam persoalan ini peneliti menilai sebab terjadinya over kapasitas disebabkan dengan beberapa hal yang mendasar yaitu Peradilan lebih menjunjung sanksi pidana, tidak membagi tahanan berdasarkan kasus, kemudian secara fundamental ialah kurangnya Tingkat kesadaran Masyarakat dan kepatuhan hukum Masyarakat dalam suatu negara.
SINERGI TIGA PILAR DALAM PROGRAM PEMBERSIHAN KALI WADAS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN KELURAHAN SUDIMARA BARAT CILEDUG KOTA TANGERANG NURSUPIAN, NURSUPIAN; AHMAD, RAMLIN; TUAHUNS, IRSYAD ZAMHIER; FAUZI, AHMAD; HARIS, ABDUL; SAPUTRA, MUHAMMAD WAHYU ADE; AKBAR, KHALIFA; AZKIA, CZIDNI SIKA; TAUFIQURRAHMAN, AHMAD NUR; WIDYANTO, AGUNG; NUGRAHA, RIDWAN MAULANA; LAHANGI, RAHMAT; ILMI, IRFAN; SURYANTO, HENDRA; MONA, VERONICA VENNACIA OMPU; Nursupian
Community Service Articles Vol.1 No.2 (Nov 2024)
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.65344/comers.v1i2.48

Abstract

Kebersihan sungai sangat vital dalam menjaga kelangsungan ekosistem air tawar serta kualitas hidup manusia. Sungai yang tercemar bisa membahayakan keberagaman hayati, kesehatan masyarakat, dan juga merusak sumber daya alam yang penting untuk irigasi, persediaan air minum, dan keperluan industri. Pengabdian masyarakat ini bermaksud untuk menyelamatkan lingkungan sungai wadas dari pencemaran seperti limbah domestik dan industri serta limbah rumah tangga dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap menjaga kebersihan lingkungan. Ragam langkah diambil untuk merawat kebersihan sungai, termasuk manajemen limbah yang efektif, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, yang semuanya berperan penting dalam mencegah pencemaran dengan menjaga kebersihan sungai dan memastikan kualitas hidup manusia terjaga secara berkelanjutan. Agar upaya ini berhasil, diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menerapkan kebijakan dan langkah konkret untuk melindungi sungai sebagai sumber kehidupan yang sangat penting.
Efektivitas Prinsip Minimum Bewijs dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana Indonesia Tuahuns, Irsyad Zamhier
Pratyaksa: Jurnal Ilmu Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 1 No. 4 (2025): (Oktober)
Publisher : Samsara Institute Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hakim memiliki kebebasan penuh untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan. Tidak ada ketentuan yang mengikat secara ketat mengenai nilai pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut. Dalam konteks teori pembuktian, Indonesia menganut teori pembuktian campuran (gemengde bewijs theorie), yaitu gabungan antara pembuktian bebas dan terikat, maksudnya Hakim memiliki kebebasan menilai bukti, tetapi tetap terikat pada syarat minimal dua alat bukti dan keyakinan. Prinsip minimum bewijs dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, menetapkan bahwa seorang terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, kemudian Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Prinsip ini bertujuan menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi terdakwa. Namun, dalam praktiknya, efektivitas prinsip ini menghadapi tantangan serius, terutama dalam era digital dan dalam kasus-kasus yang bergantung pada keterangan saksi. Bukti elektronik sering sulit diverifikasi keabsahannya, dan saksi dapat dipengaruhi oleh tekanan atau iming-iming. Prinsip ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi terdakwa, mencegah pemidanaan yang sewenang-wenang, dan menjamin bahwa putusan pidana didasarkan pada bukti yang cukup dan meyakinkan. Dalam penulisan ini Peneliti mengkaji. 1. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam penerapan prinsip minimum bewijs, khususnya terkait bukti digital dan keterangan saksi? 2. Bagaimana efektivitas prinsip minimum bewijs dalam konteks sistem pembuktian pidana Indonesia. Selanjutnya Peneliti mengkaji dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris, serta analisis terhadap praktik peradilan dan pendapat para ahli hukum.
Pendekatan Integral dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) Dihubungkan Melalui Rekonstruksi Sistem Pemidanaan Berbasis Relasi Sosial Tuahuns, Irsyad Zamhier
Bulletin of Law Research Vol.2 No.2 (Des 2025)
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.65344/bleach.v2i2.156

Abstract

Pembaruan hukum pidana nasional melalui pengesahan KUHP baru menandai transformasi penting dari pendekatan pemidanaan yang retributif dan individualistik menuju paradigma integral yang lebih kontekstual dan berbasis relasi sosial. Selama puluhan tahun, sistem hukum pidana Indonesia berlandaskan KUHP kolonial yang membatasi pertanggungjawaban pidana hanya pada pelaku langsung, tanpa mempertimbangkan pengaruh struktural, psikologis, maupun institusional yang turut mendorong terjadinya tindak pidana. Kekosongan ini tampak dalam berbagai kasus, seperti kekerasan terhadap anak, eksploitasi seksual, dan kejahatan korporasi, di mana pelaku seringkali merupakan bagian dari rantai hubungan sosial yang lebih luas. Penelitian ini mengidentifikasi dua permasalahan utama: pertama, keterbatasan KUHP lama yang tidak mampu mengakomodasi pertanggungjawaban pidana berbasis relasi sosial; kedua, bagaimana KUHP baru merekonstruksi sistem pemidanaan melalui pendekatan integral. Dengan metode yuridis normatif, penelitian ini menganalisis peraturan, doktrin hukum, dan prinsip pemidanaan dalam KUHP baru. Hasil kajian menunjukkan bahwa KUHP baru memperluas cakupan pertanggungjawaban pidana melalui pengaturan pidana pengawasan, pidana kerja sosial, serta pengakuan terhadap korporasi dan individu terkait sebagai subjek hukum. Pendekatan ini memberikan landasan normatif yang lebih adaptif untuk menjawab dinamika sosial, memperkuat keadilan restoratif, dan memastikan pemidanaan yang lebih proporsional serta berorientasi pada pemulihan sosial. Dengan demikian, KUHP baru mengisi kekosongan hukum sebelumnya dan menghadirkan sistem pemidanaan yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat modern.
Pendampingan Hukum bagi Pekerja Perempuan terhadap Perlindungan dari Diskriminasi dan Pemutusan Hubungan Kerja sepihak di Tempat Kerja Noor, Akbarudin; Noor, Akbaudin; Ramlin Ahmad; Nursupian Nursupian; Tuahuns, Irsyad Zamhier
Community Service Articles Vol.2 No.2 (Nov 2025)
Publisher : Universitas Bhakti Asih Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.65344/comers.v2i2.137

Abstract

Pekerja perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional dan memiliki kontribusi signifikan dalam berbagai sektor, mulai dari industri, jasa, hingga pemerintahan. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa perempuan pekerja masih rentan terhadap praktik diskriminasi, baik dalam bentuk perbedaan upah, pembatasan akses terhadap jabatan struktural, maupun perlakuan tidak adil lainnya. Salah satu permasalahan paling krusial adalah tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang sering kali tidak berlandaskan pada pertimbangan hukum dan cenderung dilakukan dengan alasan-alasan yang bias gender. Kondisi ini menimbulkan persoalan serius terkait pemenuhan hak konstitusional perempuan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan advokasi hukum serta meningkatkan kesadaran hukum bagi pekerja perempuan dalam menghadapi diskriminasi dan ancaman PHK sepihak di tempat kerja. Metode yang digunakan meliputi penyuluhan hukum, konsultasi individu, serta pendampingan advokatif terhadap kasus-kasus yang dialami peserta. Pelaksanaan dilakukan dengan pendekatan partisipatif agar para pekerja aktif dalam mengidentifikasi permasalahan dan menemukan solusi hukum yang sesuai. Hasil kegiatan menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta terhadap hak-hak ketenagakerjaan, serta tumbuhnya keberanian untuk melaporkan tindakan pelanggaran yang dialami kepada instansi berwenang seperti Dinas Ketenagakerjaan dan lembaga bantuan hukum. Secara umum, kegiatan ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan literasi hukum di kalangan pekerja perempuan, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif mengenai pentingnya advokasi berbasis gender dalam mewujudkan keadilan di dunia kerja. Selain itu, kegiatan ini menjadi model implementatif bagi penguatan peran lembaga bantuan hukum dan akademisi dalam mendorong reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih berperspektif keadilan gender.