Marriage in Islamic teachings is a sacred bond that is clearly regulated through the Qur'an and hadith, and aims to create a family that is sakinah, mawaddah, and rahmah. One of the main principles in marriage according to Islamic law is the willingness (ridha) of both parties, both the groom and the bride. However, the reality on the ground shows that the practice of forced marriage still occurs in various regions of Indonesia, especially in communities with strong customs, low socio-economic conditions, and limited understanding of religion. This practice not only contradicts the principles of Islamic law, but also has serious impacts on the integrity of the household, such as prolonged conflict, domestic violence (KDRT), and divorce.This study aims to explore and analyze how Islamic law views forced marriage, as well as examine its social and psychological implications for household stability. Using a normative qualitative approach and library research, this article examines the views of classical and contemporary scholars, and compares them with positive law in Indonesia. The results of the study show that the majority of scholars reject forced marriage because it is contrary to maqashid al-shariah (the objectives of sharia) which uphold freedom, welfare, and protection of individual rights. [Perkawinan dalam ajaran Islam merupakan ikatan suci yang diatur secara jelas melalui Al-Qur’an dan hadis, serta bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Salah satu prinsip utama dalam pernikahan menurut hukum Islam adalah adanya kerelaan (ridha) dari kedua belah pihak, baik mempelai pria maupun wanita. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa praktik perkawinan paksa masih berlangsung di berbagai wilayah Indonesia, terutama di masyarakat dengan adat yang kuat, kondisi sosial ekonomi rendah, serta pemahaman agama yang terbatas. Praktik ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip hukum Islam, tetapi juga menimbulkan dampak serius terhadap keutuhan rumah tangga, seperti konflik berkepanjangan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga perceraian.Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis bagaimana hukum Islam memandang perkawinan paksa, serta menelaah implikasi sosial dan psikologisnya terhadap stabilitas rumah tangga. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif normatif dan studi pustaka (library research), artikel ini mengkaji pandangan ulama klasik dan kontemporer, serta membandingkannya dengan hukum positif di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa mayoritas ulama menolak perkawinan paksa karena bertentangan dengan maqashid al-shariah (tujuan syariat) yang menjunjung tinggi kebebasan, kemaslahatan, dan perlindungan hak individu.]
Copyrights © 2025