Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tantangan penerapan Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) serta merekomendasikan reformasi hukum guna memastikan kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup beserta pembela HAM-lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Novelty Penelitian ini menyoroti konflik hukum antara perlindungan pembela HAM-Lingkungan dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan kriminalisasi melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penelitian ini menganalisis 2 (dua) kasus, yakni kasus Daniel Tangkilisan dan Fatia-Haris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pembela HAM-Lingkungan adalah melakukan advokasi dan kampanye baik secara langsung maupun menggunakan media sosial. Namun, keberadaan pasal yang mengatur mengenai pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat di internet, yakni pasal penyebaran konten pencemaran nama baik dan berita bohong dalam UU ITE juga mengancam para Pembela HAM-Lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kriminalisasi terhadap Pembela HAM-Lingkungan dengan tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Sementara Pasal 66 UU PPLH atau Pasal Anti-SLAPP telah mengamanahkan perlindungan bagi Pembela HAM-Lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan. Pasal 66 UU PPLH sebagai Pasal Anti-SLAPP menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak dapat dipidana maupun digugat secara perdata. Namun, dalam kasus Daniel dan Fatia-Haris, UU ITE justru digunakan untuk mengkriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dan berita bohong. Meskipun tetap memvonis bebas, pengadilan belum sepenuhnya mengakui prinsip Anti-SLAPP, terutama dalam menegaskan status Fatia-Haris sebagai Pembela HAM-Lingkungan.
Copyrights © 2025