Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat menuntut adanya kejujuran dan integritas dari setiap peserta. Namun, praktik penggunaan ijazah palsu oleh calon legislatif menunjukkan adanya persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis, pertama, bagaimana sanksi hukum terhadap penggunaan ijazah palsu dalam pemilu diatur dan diterapkan; dan kedua, apa dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas pemilu dan demokrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan memadukan studi kepustakaan, putusan pengadilan, serta literatur akademik yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun penggunaan ijazah palsu telah diatur dalam UU Pemilu 2017, KUHP, dan UU Sisdiknas, masih terdapat kekosongan hukum ketika pemalsuan baru terungkap pasca penetapan calon terpilih. Kekosongan ini membuat pelaku hanya dapat diproses dengan hukum pidana umum, sehingga prinsip electoral justice tidak sepenuhnya terwujud. Dari sisi demokrasi, pemalsuan ijazah menurunkan kualitas representasi rakyat, mencederai asas jujur dan adil (jurdil), serta mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemilu. Artikel ini merekomendasikan perlunya revisi UU Pemilu untuk memperluas kewenangan Gakkumdu, penguatan sistem verifikasi ijazah berbasis digital, dan peningkatan akuntabilitas partai politik dalam seleksi calon. Dengan demikian, integritas pemilu dapat terjaga dan demokrasi dapat berdiri di atas fondasi kejujuran serta kepercayaan publik.
Copyrights © 2025