Perkembangan teknologi digital membawa perubahan signifikan terhadap pola kejahatan seksual, khususnya melalui meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang meninggalkan jejak elektronik sebagai sumber pembuktian utama. Meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, hingga kini belum tersedia pedoman teknis yang komprehensif untuk mengatur prosedur pengumpulan, penyimpanan, autentikasi, dan verifikasi bukti digital dalam proses peradilan pidana. Kekosongan pengaturan ini menimbulkan ketidakseragaman praktik di tingkat penyidikan dan persidangan, sehingga berpotensi melemahkan nilai pembuktian bukti elektronik dan menimbulkan risiko ketidakpastian hukum. Selain itu, ketiadaan standar teknis turut mengancam perlindungan korban, terutama terkait risiko reviktimisasi, kebocoran data pribadi, serta penyalahgunaan konten sensitif. Melalui pendekatan normatif, artikel ini menganalisis kesenjangan antara pengaturan normatif dan kebutuhan praktik penegakan hukum, serta mengkaji implikasinya terhadap asas kepastian hukum dan perlindungan korban. Artikel ini menegaskan pentingnya penyusunan pedoman teknis nasional yang terintegrasi antar lembaga penegak hukum untuk memastikan keabsahan alat bukti elektronik, melindungi hak korban, dan mewujudkan keadilan substantif dalam perkara kekerasan seksual di era digital.
Copyrights © 2025