Fragmentasi hukum dalam pengaturan perizinan pertambangan menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi efektivitas penyelenggaraan perizinan melalui Sistem Minerba One Data Indonesia (MODI). Studi ini menganalisis bentuk-bentuk fragmentasi hukum yang muncul pada berbagai tingkat regulasimulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, PP Nomor 96 Tahun 2021, hingga Keputusan Menteri ESDM Nomor 297.K/MB.01/MEM.B/2023serta dampaknya terhadap kepastian hukum pemohon Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa disharmonisasi norma, ketidaksinkronan persyaratan administratif, tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah, serta divergensi antara dokumen hukum dan database MODI telah menciptakan hambatan struktural dalam proses perizinan. Pemohon seringkali menghadapi situasi di mana permohonan tidak diproses atau tertunda akibat adanya perbedaan standar verifikasi, keterbatasan integrasi data, serta persyaratan teknis tambahan yang tidak sejalan dengan norma yang lebih tinggi. Ketidakmampuan MODI untuk mengeksekusi putusan PTUN tertentu karena persyaratan amar yang ditentukan secara sepihak dalam Keputusan Menteri dan juga memperlihatkan bentuk fragmentasi remedial yang mengurangi perlindungan hukum pemohon. Penelitian ini menegaskan bahwa fragmentasi hukum tidak hanya mengganggu efektivitas sistem digital perizinan, tetapi juga menurunkan kepastian hukum dan kepercayaan pelaku usaha terhadap tata kelola pertambangan. Harmonisasi regulasi dan penyederhanaan prosedur menjadi langkah mendesak untuk memastikan bahwa digitalisasi perizinan benar-benar menghadirkan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum.
Copyrights © 2025