Wilayah pesisir Kabupaten Subang, khususnya Desa Mayangan dan Legonwetan di Kecamatan Legonkulon, menghadapi ancaman tenggelam di masa datang akibat percepatan abrasi dan banjir pasang surut yang semakin intens. Solusi untuk mengatasi risiko dari bahaya alam tersebut perlu dipertimbangkan dalam rencana tata ruang yang tepat dengan komunikasi risiko yang baik. Dalam konteks ini, perencanaan tata ruang semestinya menjadi instrumen utama pengelolaan risiko dan adaptasi. Namun, penelitian menunjukkan bahwa konsep komunikasi risiko sebagai sebuah proses dua arah untuk menentukan tingkat penerimaan masyarakat terhadap risiko bahaya alam belum dipahami dan diimplementasikan secara memadai oleh aktor penyusunan RDTR. Aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui forum formal sering tidak diakomodasi, dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Proses komunikasi risiko justru lebih efektif dan berdampak melalui jalur informal yang diinisiasi oleh perangkat desa, disampaikan langsung kepada bupati, pemerintah pusat dan sektor swasta. Policy brief ini merekomendasikan: (1) redefinisi dan pengaturan formal komunikasi risiko dalam konteks perencanaan tata ruang, (2) penguatan pelibatan masyarakat sebagai subjek utama dalam penentuan skenario adaptasi, termasuk pengakuan atas inisiatif lokal yang sudah berjalan.
Copyrights © 2025