Implementasi hukum perlindungan konsumen dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit di Indonesia dijalankan terutama melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menegaskan bahwa pasien merupakan konsumen yang berhak menerima pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, serta memperoleh informasi yang lengkap dan jujur mengenai kondisi medis maupun tindakan yang akan dilakukan. UUPK juga memberikan jaminan bahwa pasien berhak menuntut ganti rugi apabila mengalami kerugian akibat kelalaian medis, termasuk tindakan malpraktik. Rumah sakit sebagai pelaku usaha berkewajiban memenuhi standar pelayanan, memastikan prosedur informed consent dilaksanakan oleh dokter, memberikan akses terhadap rekam medis, dan menyediakan mekanisme kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUPK serta diperkuat oleh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Banyak pasien belum memahami hak-haknya, sehingga sering kali tidak mempertanyakan prosedur atau tindakan medis yang diberikan. Beban kerja rumah sakit yang tinggi menyebabkan proses informed consent dilakukan terburu-buru dan tidak mendalam. Selain itu, dominasi tenaga perawat dalam kegiatan administratif terkadang membuat peran dokter dalam komunikasi medis menjadi kurang optimal. Rumah sakit juga kerap kesulitan memenuhi standar karena keterbatasan sumber daya dan lemahnya komunikasi internal. Meski mekanisme pengaduan serta gugatan perdata maupun pidana telah tersedia melalui Pasal 45 UUPK, penguatan pelaksanaan UUPK tetap diperlukan. Upaya perbaikan dapat dilakukan melalui sosialisasi hak pasien, peningkatan kualitas komunikasi dokter-pasien, pemanfaatan teknologi rekam medis untuk meningkatkan transparansi, serta penerapan pendekatan keadilan restoratif yang didukung oleh majelis disiplin profesi untuk mendorong peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan.
Copyrights © 2026