Di awal pendirian, perbankan syariah diisukan sebagai alternativ terhadap perbankan konvensional yang berbasis bunga. Ia dibangun atas dasar prinsip profit and loss sharing (bagi-hasil) karena ia dianggap konsep yang lebih berkeadilan. Produk bagi-hasil tersebut adalah muá¸Ärabah dan musyÄrakah. Namun dalam perjalanannya produk tersebut tidak begitu diminati oleh perbakan syariah, karena sistem bagi-hasil memiliki prosedur yang rumit, karena perbankan dituntut aktiv dan terlibat terhadap usaha nasabah. Perbankan syariah lebih tertarik dengan sistem murÄbaḥah, karena keuntungan bersifat pasti dan tidak rumit dalam praktinya. Sehingga murÄbaḥah mendominasi 60%-90% dalam skema pembiayaan perbankan syariah. Hal inilah yang memicu sejumlah keritikan karena praktek murÄbaḥah tak ubahnya bunga dalam perbankan konvensional yang keuntungannya bersifat pasti, yang berbeda hanya basis akadnya saja, murÄbaḥah berdasarkan jual-beli, sementara bunga berbasis utang.Namun yang menjadi masalah adalah bukan pada akadnya, karena murÄbaḥah diakui secara syariâah, yang menjadi masalah adalah terjadi penyimpangan dalam praktik akad murÄbaḥah, yang mengakibatkan akad tersebut batil secara syariah. Adapun penyimpangan tersebut terjadi pada (1) pelanggaran syarat murÄbahah, yaitu: syarat kepemilikan terhadap harta (milkiyah) dan harga awal yang diketahui (raâsul mÄl maâlÅ«m) dan (2) penempatan akad murÄbaḥah pada transaksi yang salahPENYIMPANGAN AKAD MURÄBAḤAH di PERBANKAN SYARIAH dan BEBERAPA ISU MENGENAI MURÄBAḤAH
Copyrights © 2017