cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL HUKUM UNSRAT
ISSN : 14102358     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat" : 5 Documents clear
ASPEK HUKUM PENGGUNAAN SURAT BERHARGA PADA DUNIA PERBANKAN BAGI MASYARAKAT INDONESIA Roeroe, Sarah D. L.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Didalam kegiatan ekonomi di Indonesia, perkembangan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari adanya peran dunia perbankan yang menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional. Dunia perbankan menjadi perantara bagi sektor riil dan sektor finansial di dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Didalam kegiatannya perbankan menghimpun dan menyalurkan dana-dananya dari masyarakat kemudian dikembalikan pada masyarakat dalam bentuk kredit atau pinjaman uang. Memang dalam rangka kehidupan perbankan, baik itu nasabah penyimpan dana maupun nasabah penerima dana adalah sama pentingnya. Karena dari kedua sisi nasabah inilah bank dapat menjalankan roda usahanya. Dari nasabah penyimpan dana bank akan mendapatkan modal usaha, yang kemudian dari nasabah penerima dana itulah dana tersebut disalurkan dengan memperoleh keuntungan berupa bunga.Dapatlah dikatakan usaha bank itu adalah mengambil keuntungan selisih antara bunga tabungan/deposito, dengan bunga kredit yang disalurkannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan nasabah adalah “jantungnya” kehidupan perbankan, tanpa nasabah sebuah bank tidak akan hidup dan tidak akan ada artinya dalam masyarakat. Bank akan besar kalau nasabah menjadikannya besar, sebaliknya bank akan runtuh kalau nasabah sudah tidak mempercayainya lagi. Didalam kegiatan operasionalnya bank memiliki instrumen surat berharga. Di samping surat berharga sebagai surat legitimasi masih ada surat legitimasi lainnya, seperti misalnya karcis titipan sepeda, surat penitipan barang (penitipan topi) dan sebagainya.Salah satu instrumen yang banyak berperan dalam kegiatan perbankan yaitu adanya surat-surat berharga baik dalam bentuk Cek, Giro, Sertifikat Deposito, maupun Deposito. Surat-surat berharga tersebut memiliki nilai tunai sebesar nilai yang dicantumkan pada surat berharga tersebut. Bagi pemegang surat berharga (surat atas tunjuk dan atas pengganti) surat tersebut adalah satu-satunya surat legitimasi baginya. Kalau dia kehilangan surat tersebut, maka ia tidak lagi dapat meminta pemenuhan kembali haknya kepada pengutang, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang. Demikianlah kita lihat perbedaan antara surat atas tunjuk dan atas pengganti sebagai surat legitimasi dibandingkan dengan surat lainnya sebagai surat legitimasi. Berdasarkan uraian ini terlihat pentingnya peranan surat berharga bagi dunia perbankan dan bagi masyarakat pada umumnya sehingga penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut.
JAKSA SELAKU PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Saripi, Mohammad Ridwan
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup, budaya, dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik.  Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah multidimensi, yaitu bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya. Upaya pemerintah dalam melakukan penanggulangan tindak pidana korupsi, baik melalui penindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun melalui reformasi birokrasi di berabagai sektor publik dan adminitratif yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih menemui kendala.Kondisi yang obyektif demikian itu merupakan realita dalam sektor pelayanan publik yang perlu dibenahi, dicegah serta dicarikan jalan keluarnya karena terkait erat dengan pola pikir (mindset), budaya kerja (culture set) dan perilaku (behavior) dari sumber daya manusianya. Salah satu upaya untuk membenahi dan mencegah terjadinya korupsi di daerah, tidak saja diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, dengan melakukan prinsip good governance dan clean goverment tetapi juga dengan mengakselarasi sinergi pemberantasan korupsi secara integral dan sistemik.Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mulai dari pembentukan dan pembaharuan undang-undang sampai dengan pembentukan Badan/Tim/Komisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, namun kenyataannya suara sumbang masyarakat tetap bergaung dan sorotan terhadap pemerintah berlangsung dari waktu ke waktu. Upaya pemerintah tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, justru sebaliknya malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada pemerintah khususnya kepada penegak hukum, karena dipandang tidak mampu merespons tuntutan masyarakat.6 Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tidak serta merta dapat melakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi karena kewenangan tersebut ada pada penyidik dan penuntut umum yang masing-masing diambil dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.Pergantian HIR dengan KUHAP telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang fundamental dalam hukum acara pidana. Perubahan tersebut antara lain di bidang penyidikan, dimana kewenangan penyidikan yang selama ini berada pada Kejaksaan RI telah beralih kepada Kepolisian RI kecuali terhadap tindak pidana tertentu. Oleh Pasal 284 ayat (2) KUHAP masih dipercayakan kepada Kejaksaan RI khususnya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yang kemudian ditegaskan melalui Pasal 30 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.8Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa kewenangan itu sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dari ketentuan undang-undang tersebut dapat dikatakan bahwa Jaksa (Kejaksaan) berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi.Kewenangan yang diberikan undang-undang terhadap Kejaksaan RI untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana korupsi telah dijalankan dengan baik oleh pihak Kejaksaan RI, sehingga begitu banyak kasus korupsi yang sudah terungkap dan banyak pelakunya yang sudah tertangkap dan sedang menjalankan hukumannya.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP RACUN PENYEBAB KEMATIAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK KEKERASAN Maramis, Marchel R.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pesatnya perkembangan pengetahuan, seringkali menyebabkan seseorang tidak dapat menyelesaikan permasalahanya sendiri. Seseorang itu mau tidak mau harus memerlukan bantuan orang lain yang lebih paham untuk dimintai bantuan menyelesaikan masalah yang telah dialami orang tersebut. Manusia hidup diwajibkan untuk mengadakan hubungan satu dengan yang lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh keperluan hidupnya. Akan tetapi seringkali kepentingan-kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Seperangkat aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang dimaksud itu tidak lain adalah hukum. Hukum dibuat, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tercipta ketertiban, ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat. Hal ini dicerminkan dari salah satu fungsi hukum sebagai “a tool of social control”. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut. Secara umum, racun merupakan zat padat, cair, atau gas, yang dapat mengganggu proses kehidupan sel suatu organisme. Zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur oral (mulut) maupun topikal (permukaan tubuh). Dalam hubungan dengan biologi, racun adalah zat yang menyebabkan luka, sakit, dan kematian organisme, biasanya dengan reaksi kimia atau aktivitas lainnya dalam skala molekul. Bapak Toksikologi, Paracelsus, menyatakan bahwa Segala sesuatu adalah racun dan tidak ada yang tanpa racun. Hanya dosis yang membuat sesuatu menjadi bukan racun (Dosis solum facit venum). Istilah racun bersinonim dengan kata toksin dan bisa, namun memiliki definisi yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kata "toksin" didefinisi sebagai racun yang dihasilkan dari proses biologi, atau sering disebut sebagai biotoksin. Sementara, bisa didefinisikan sebagai cairan mengandung racun yang disekresikan atau dihasilkan oleh hewan selama proses pertahanan diri atau menyerang hewan lain dengan gigitan maupun sengatan. Istilah beracun, toksik, dan berbisa juga merupakan kata yang sebanding apabila digunakan untuk menyatakan sifat atau efek dari racun. Namun, tetap terdapat sedikit perbedaan pada ketiga kata tersebut. Beracun digunakan untuk segala sesuatu yang dapat berakibat fatal atau berbahaya apabila dimasukkan dalam jumlah tertentu ke makhluk hidup. Sedangkan toksik menyatakan sifat atau efek dari toksin, dan berbisa mengacu kepada hewan penghasil bisa.
PRINSIP-PRINSIP EKSISTENSI GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DALAM ERA PASAR BEBAS Korah, Revy S. M.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Untuk mengatur agar perdagangan internasional berjalan secara baik, lancar dan saling menguntungkan, maka masyarakat internasional telah membentuk instrumen hukum internasional dibidang perdagangan internasional. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan pembentukan The General Agreement on Tariffs and Trade pada tahun 1947 (GATT). GATT terbentuk pada tanggal 30 Oktober 1947 dan mulai berlakunya GATT pada tanggal 1 Januari 1948, pembentukan GATT dimaksudkan sebagai perjanjian subsider yang tunduk dan tergantung kepada organisasi perdagangan dunia. Pembentukan GATT ini sebagai persetujuan perdagangan pada umumnya dan penghapusan hambatan tariff, tariff secara timbal balik yang mencerminkan suatu persetujuan dagang global.Seperti yang telah disebut dimuka, GATT berlangsung sampai pada tahun 1994 saja, kemudian pada tahun 1994 digantikan oleh WTO. Lahirnya WTO tidak lepas dari upaya pembentukan International Trade Organization dan GATT. Usai Perang Dunia II masyarakat internasional menyadari untuk membahas dan mengatur masalah perdagangan serta ketenagakerjaan internasional. WTO lahir menggantikan GATT pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai organisasi perdagangan dunia. Sekretariat GATT dijadikan sebagai sekretariat WTO, dan WTO sebagai orgaisasi internasional lebih memenuhi syarat sebagai organisasi internasional dan lebih luas dari pada GATT. WTO adalah organisasi internasional publik yang beranggotakan 153 negara (pada tahun 2008).Salah satu blok perdagangan bebas yang dibentuk adalah ASEAN Free Trade Area (yang selanjutnya disingkat AFTA). The Association of Southeast Asian Nations (yang selanjutnya disingkat ASEAN) didirikan oleh lima negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura pada bulan bulan Agustus tahun 1967. Instrumen yang mendirikan ASEAN adalah Deklarasi Bangkok 1967 (The ASEAN Declaration atau Bangkok Declaration) yang ditandatangani pada tanggal 8 Agustus 1967. Pembentukan ASEAN ini antara lain ditujukan untuk mempererat kerjasama ekonomi antar negara anggota. Kerjasama ASEAN ini menghasilkan ASEAN Preferential Trading Arrangements (yang selanjutnya disingkat PTA), namun PTA ini gagal mendorong perdagangan intra- ASEAN, karena pembukaan akses pasar melalui penurunan tarif akan mengancam industri di dalam negeri, sekaligus untuk menjaga kondisi neraca perdagangan. Indonesia bersama-sama dengan negara-negara Association Of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang lainnya pada tahun 2015 akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC)/Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).Komitmen untuk membentuk satu pasar di kawasan Asia Tenggara tersebut, tertuang di dalam satu wadah yaitu AEC, diwujudkan dengan pengadopsian AEC Blueprint/Cetakbiru MEA pada tanggal 20 November 2007 di Singapura. Komitmen atas manifestasi kawasan integrasi ekonomi ini akan bertentangan dengan komitmen-komitmen lainnya yang dideklarasikan sebelumnya terutama atas komitmen dengan World Trade Organization (WTO) yang tertuang dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR Sompotan, Hendrik B.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 7 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu seperti diuraikan di atats, merupakan salah syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. selain itu, juga terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mecapai pembagunan yang optimal dan berkelenjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenhi kebutuhan hidup saat ini tampak merusak atau menurunkan kemampuan generasi mandatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada lanjut ekosistem alamiah secara sumberdaya yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexibel) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, secara kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan mausia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehinggan kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.

Page 1 of 1 | Total Record : 5