cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 22 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen" : 22 Documents clear
KAJIAN YURIDIS TENTANG TANGGUNG JAWAB PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Irianty, Devy Inovany
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pelaku tindak pidana pencurian berdasarkan Pasal 362 KUHAP dan bagaimana manfaat pelaksanaan tanggung jawab pelaku tindak pidana pencurian dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Tanggung jawab pelaku tindak pidana pencurian berdasarkan Pasal 3625 KUHAP adalah pidana penjara paling lama lima tahun apabila perbuatan pelaku memiliki unsur-unsur yang terkandung dalam pasal. Namun ancaman pidana paling lama lima tahun penjara terhadap pelaku tindak pidana sering diputus lebih ringan sehingga tidak membuat jera pelaku sehingga mengulangi lagi perbuatannya dan menjadi pencuri kambuhan. 2. Manfaat tanggung jawab pelaku tindak pidana pencurian dalam system pemidanaan di Indonesia adalah untuk melindungi tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan tindak pidana pencurian dan untuk membuat pelaku menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.Kata kunci: pencurian;
KEWENANGAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Weyasu, Daniel Armanado
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Kewenangan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dam bagaimana Kendala-Kendala Pelaksanaan Kewenangan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan peraturan perundang-undang yang diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kewenangan Pembimbing Kemasyarakatan adalah melakukan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingngan, dan pengawasan terhadap anak. Tugas dan kewenangan dari pembimbing kemasyarakatan sangat strategis dan penting bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 2. Berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kendala kendala Pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan dalam tahap pra-adjukasi, tahap adjukasi, sampai dengan tahap post-adjukasi bermacam macam seperti wilayah kerja yang luas, waktu yang singkat dalam pembuatan LITMAS, sarana prasarana yang masih kurang, jumlah pembimbing kemasyarakatan yang kurang dalam menjamin kepastian hukum terhadap anak dan menjamin hak-hak anak dipenuhi selama proses peradilan pidana anak.Kata kunci: pembimbing kemasyarakatan; peradilan pidana anak;
PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-VI/2008 DAN NOMOR 2/PUU-VII/2009 Lintong, Brilliant
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Dan Nomor 2/PUU-VII/2009 dan bagaimanakah Pertanggungjawaban Bagi Pelaku Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pengaturan Tindak Penghinaan dan Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Dan Nomor 2/PUU-VII/2009 menjadikan Delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dilarang dan diancam pidana dalam UU ITE merupakan delik aduan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 5. Konsekuensinya untuk semua tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik yang diatur selain mengacu Pasal 310 dan 311 KUHP, yang subyek hukum yang dilindungi adalah pejabat negara yang menjalankan tugasnya yang sah, juga menjadi delik aduan dan pengaturan delik pencemaran dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak individu warga Negara (pemohon), sebab memaknai HAM sendiri tidak dapat dilepaskan dari hak orang lain tentang hak sama, dan kewajiban tiap-tiap warga negara untuk menghormati hak orang lain, sehingga timbul keseimbangan dalam memaknai dan melaksanakan HAM. 2. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik didasarkan pada doktrin yaitu kemampuan bertanggungjawab, kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf. Pada tindak pidana pencemaran nama baik pelaku harus memenuhi unsur kemampuan bertanggungjawaban sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP, unsur kesalahan yang dirumusakan dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta tidak ditemukan nya alasan pemaaf seperti yang diatur dalam Pasal 44 KUHP, 48 KUHP,49 ayat (2) KUHP,51 ayat (2) KUHP.Kata kunci: penghinaan; pencemaran nama baik;
REHABILITASI DAN GANTI RUGI TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP MENURUT KUHAP Mumek, Novaldy
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana proses rehabilitasi terhadap korban salah tangkap menurut hukum pidana dan bagaimana proses ganti rugi terhadap korban salah tangkap menurut hukum pidana yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Rehabilitasi perlu diberikan karena merupakan hak tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa; “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal-pasal KUHAP yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Adapun prosedur unttuk  rehabilitasi adalah mengikuti aturan yang didapat dalam : a. Pasal 1 angka 22, Jo pasal 77 (3), Jo pasal 79, Jo pasal 95 (1), Jo pasal 9 (1), UU no 8 tahun 1981 dan KUHAP b. PP No.27 1983, Jo PP No.92 tahun 2015, c. SK kementerian Hukum. 2. Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap yaitu dengan melakukan  tuntutan ganti rugi dan sesaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika ganti rugi didasarkan pada nominal uang yang harus dibayarkan akibat kesalahan penyidik dalam menangkap, menahan, menuntut ataupun mengadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut acara yang diatur dalam undang-undang, maka rehabilitasi lebih kepada memulihkan nama baik, harkat dan martabat serta memulihkan hak terdakwa.Kata kunci: rehabilitasi; ganti rugi; korban salah tangkap;
PEMBERIAN ASIMILASI BAGI NARAPIDANA DI ERA PANDEMI COVID-19 DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAM NOMOR 10 TAHUN 2020 Siby, Juliorevo J.
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah dasar pertimbangan kebijakan pemberian asimilasi kepada narapidana di era pandemi Covid-19 dan bagaimanakah prosedur pemberian asimilasi bagi narapidana menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar pertimbangan kebijakan pemberian asimilasi kepada narapidana di era pandemi Covid-19 adalah melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau over capacity sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19, sehingga kebijakan pemberian asimiliasi bagi narapidana menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana dan anak Menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dilakukan dengan ketentuan bagi narapidana yang 2/3 masa pidananya dan bagi anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai tanggal 31 Desember 2020, bagi narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP 99/2012 yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan WNA, serta Asimilasi dilaksanakan di rumah dan tidak berlaku bagi narapidana tindak pidana Terorisme, Narkotika dan Prekursor Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan Kejahatan Hak Asasi Manusia Yang Berat serta Kejahatan Transnasional Terorganisasi.Kata kunci: asimilasi; pandemi;
KAJIAN YURIDIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Lukow, Melania
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitin ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat – alat bukti yang sah dalam KUHAP dan bagaimana kekuatan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana, yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Alat – alat bukti yang sah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, hakim bebas menilainya dan tidak ikut untuk menilai alat – alat bukti tersebut,namun penilaian hakim itu harus benar – benar bertanggung jawab demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. 2. Kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti dalam pembuktian suatu perkara pidana adalah sebagai alat bukti sura, karena visum et repertum merupakan laporan yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan di ketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Misalnya dalam kasus penusukan, jenis senjata tajam apa yang dipergunak, perkiraan lebar dan kedalaman maksimal senjata tajam yang masuk pada tubuh korban. Visum et repertum memuat semua kenyataan yang ditemukan pada waktu pemeriksaan secara objektif sehingga dapat pula dipaka sebagai dokumen tentang barang bukti yang telah diperiksa.Kata kunci: visum et repertum;
KAJIAN YURIDIS PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Porayouw, Joshua
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakuannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Terhadap Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi dan bagaimana Implementasi dari Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan pengaturan terhadap pidana mati dalam tindak pidana korupsi, dapatlah diuraikan sebagai berikut: a. pengaturan pidana mati hanya diletakkan pada soal kerugian negara, berikut penjelasan yang kontradiktif dari pengaturan tersebut:. Pertama, Penjelasan Umum UU PTPK 1999 merevisi UU PTPK 1971, yaitu bahwa “…menyatakan UU PTPK 1999 hadir karena diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi…”, namun nyatanya pidana mati hanya dikenakkan bagi kerugian negara atau perekonomian negara. Kedua, hadirnya UU PTPK 2001 dalam Penjelasan Umum menyatakan bahwa “…mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus,…”, namun demikian hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam ketentuan tersebut yang terkesan belum adanya tindakan yang luar biasa pada setiap bentuk-bentuk tindak pidana korupsi, b. terjadi perubahan ruang lingkup pengaturan antara Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK 1999 dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK 2001 perihal “dalam waktu” dan diperuntukkan bagi dana-dana”. Akibatnya cakupan Pasal tersebut hanya memfokuskan pada tindak pidana yang dilakukan pada peruntukkan dana-dana yang bentuk perkaranya tercantum dalam penjelasan Pasal. Pasal tersebut dapat dipandang sebagai ketentuan “diskriminatif” terhadap tindak pidana korupsi lainnya seperti suap, gratifikasi, Penggelapan dalam jabatan, Perbuatan curang, dan Pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan yang tidak mengatur mengenai rumusan delik pidana mati. 2. Berdasarkan implementasi dari pidana mati dalam tindak pidana korupsi dapatlah diuraiakan sebagai berikut: a. ketentuan normatif yang berkenaan dengan pidana mati pada Pasal 2 ayat (2) sejak pengundangannya sampai pada saat ini, belum satupun kasus korupsi yang didakwa dengan rumusan norma tersebut, padahal bila meihat kenyataan yang terjadi, sangat dimungkinkan untuk diterapkan pasal tersebut, b. Pada Pasal 2 ayat (2) berkenaan dengan unsur keadaan tertentu itu, tidak dirumuskan secara jelas dalam norma Pasal, melainkan rumusan deliknya dicantumkan dalam Penjealasan Pasal. Ini berakibat pada ketidakjelasan rumusan dalam suatu ketentuan normatif Pasal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ketentuan tersebut telah menyimpang dari asas pembentukan peraturan perundang-undang yang diatur dalam Pasal 5 huruf f[1] yaitu asas kejelasan rumusan, c. Dalam hal tindak pidana korupsi perihal bencana nasional, bisa saja pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi pada tataran bencana lokal atau daerah tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (2). Keadaan ini pula yang Penulis rasa sangat mereduksi semangat memberantas korupsi dalam “keadaan tertentu” itu.Kata kunci: pidana mati; korupsi;[1] Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 Pongantung, Inda
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pembuktian dalam tindak pidana informasi dan transaksi elektronik berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 dan bagaimana kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pembuktian tindak pidana informasi dan transaksi elektronik berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 didasarkan pada alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk keterangan terdakwa dan ketentuan Pasal 5 UU ITE yang mengatur bahwa informasi elektronik, dokumen elektronik cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana informasi dan transaksi elektronik berupa transaksi elektronik dan hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah yang sebagai perluasan alat-alat bukti yang sah dalam Pasal 184. Kedudukan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik terutama dalam pembuktian tindak pidana informasi dan transaksi elektronik.Kata kunci: alat bukti elektronik;
PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 Saharuddin, Saharuddin
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana sanksi yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana perikanan berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 dan bagaimana penerapan sanksi terhadap kapal ikan asing yang melakukan tindak pidana perikanan di Indonesia, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Sanksi yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana perikanan berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak dua miliar rupiah yang dijatuhkan secara kumulatif artinya pidana penjara dan pidana denda dijatuhkan sekaligus kepada pelaku. Selain sanksi  pidana tehadap pelaku tindak pidana perikanan dapat diterapkan sanksi administrasi berupa peringatan, pembekuan izin dan pencabutan izin. 2. Penerapan sanksi terhadap kapal ikan asing yang melakukan tindak pidana perikanan di Indonesia dapat berupa pembakaran ataupenenggelaman. Penenggalaman kapal dapat dilakukan dengan cara penenggelaman kapal melalui putusna pengadilan dan penenggelaman karena tertangkap tangan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, nyata-nyata menangkap ikan ketika memasuk wilayah pengelolaan perikanan negara Indonesia tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).Kata kunci: tindak pidana perikanan;
SANKSI PIDANA BAGI PENEGAK HUKUM YANG TIDAK MELAKSANAKAN KEWAJIBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Daeng, Prima
LEX CRIMEN Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah kewajiban penegak hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimanakah sanksi pidana pelanggaran kewajiban oleh penegak hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Kewajiban aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, yaitu Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi dan menjaga Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Dalam hal jangka waktu sebagaimana penahanan dilakukan untuk kepentingan proses peradilan dalam hal jangka waktu telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum dan pengadilan wajib Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. 2. Pemberlakuan sanksi pidana pelanggaran kewajiban oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia baik terhadap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dipidana dengan pidana atau denda sesuai dengan bentuk pelanggaran atas kewajiban yang dilakukan oleh aparatur hukum.Kata kunci: peradilan pidana anak;

Page 1 of 3 | Total Record : 22


Filter by Year

2021 2021


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue