LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
14 Documents
Search results for
, issue
"Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen"
:
14 Documents
clear
TANGGUNG JAWAB PELAKU PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA (PASAL 55 DAN 56 KUHP)
Sambulele, Aknes Susanty
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesa, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur identifikasi dan inventarisasi hukum positif sebagai suatu kegiatan pendahuluan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier.  Dalam hasil penelitian ini menunjukan bagaimanakah keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana serta tanggungjawab pelaku penyertaan dalam tindak pidana. Pertama bahwah keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Hazewinkel Suringa[1]' berpendapat bahwa penyertaan pidana sebagai dasar untuk memperluas pertanggungjawaban pidana (tatbestands) selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik, orang-orang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak dapat dipidana, oleh karena mereka tidak mewujudkan delik, misalnya seseorang pejabat atau pegawai negeri yang memerintahkan anggota masyarakat yang dilayaninya untuk mendebet sejumlah uang ke rekening pribadinya, agar mendapat previllege dalam pelayanan publik. Kedua tanggungjawab pelaku penyertaan dalam tindak pidana yang kita lihat dalam KUHPidana pada umumnya dirumuskan secara tunggal, yakni orang peroranglah yang dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukannya (melanggar setiap rumusan delik). Hal demikian dapat diketahui dengan diilustrasikan bunyi "barangsiapa ...." yang menunjukkan bahwa hanya seorang saja yang dapat mempertanggung jawabkan atas terlanggarnya perumusan delik itu. Jadi jelas bahwa setiap orang bertanggungjawab atas perbuatan melanggar hukum pidana secara sendiri-sendiri. Maka dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana dalam delik pertanggungjawaban pidana selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik, orang-orang yang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak dapat dipidana. Sedangkan tanggungjawab pelaku penyertaan dalam tindak pidana yang kita lihat dalam KUHPidana pada umumnya dirumuskan secara tunggal, yakni orang peroranglah yang dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukannya (melanggar setiap rumusan delik). Kata kunci: Pelaku, penyertaan [1] Hazewinkel-Suringa dalam Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Yarsifwatampone, 2005, hlm. 339.
PENEGAKAN HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KETAATAN BERLALU LINTAS
Sumampow, Andrea R
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hukum kepustakaan yakni dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang dinamakan Penelitian Hukum Normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagaimana penerapan hukum lalu lintas, bila terjadi pelanggaran menurut UU Nomor 22 Tahun 2009 dan apa saja upaya pemerintah dalam mengatasi pelanggaran lalu lintas. Pertama, penerapan hukum terhadap suatu tindak pidana merupakan tugas pemerintah sebagai pejabat yang berwenang melakukan suatu penerapan hukum terhadap suatu perbuatan pidana; Pelanggaran terhadap UU LLAJ dapat dilakukan pengawasan dan juga penegakan oleh kepolisian lalu lintas yang bertugas mengatur ketertiban dalam berlalu lintas; Penerapan UU lalu lintas dapat dilakukan dengan melakukan penyidikan, penuntutan, pengadilan, bahkan eksekusi terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas. Kedua, Pemerintah berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya, serta berwenang melakukan tindakan dalam menjamin ketentraman dan kesejahteraan masyarakat. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di dalam penerapan hukum lalu lintas semua komponen harus saling berinteraksi yaitu manusia sebagai pengguna jalan, kendaraan dan jalan. Penegakan peraturan lalu lintas secara baik sangat tergantung pada beberapa faktor yang selama ini kurang mendapatkan perhatian yang seksama, yakni: pemberian teladan kepatuhan hukum dari para penegak hukum sendiri, sikap yang lugas dari para penegak hukum dengan memperhatikan usaha menanamkan pengertian tentang peraturan lalu lintas, penjelasan tentang manfaat yang konkrit dari peraturan tersebut, serta perhatian dan penanganan yang lebih serius dari pemerintah kepada masyarakat untuk membantu penegakan peraturan lalu lintas. Kata kunci: Penegakan hukum, berlalu lintas
TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG YANG DILAKUKAN OLEH PENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR
Paidun, Hendri
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Hasil penelitian menunjukkan bagaimana upaya penyelesaian perkara tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang yang dilakukan oleh pengemudi kendaraan bermotor serta apa sanksi hukum yang bisa dijatuhkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan tindak pidana kealpaan menurut KUHP. Pertama, terhadap permasalahan kealpaan yang dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor dan menewaskan orang lain, pihak pertama yang akan dihadapkan dalam persoalan ini adalah polisi lalu lintas. Upaya penyelesaian kasus-kasus lalu lintas, perlu ada pembelajaran dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan lalu lintas. Sanksi pidana yang dapat diberikan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan tindak pidana kealpaan dan menyebabkan matinya orang yakni: Pasal 359 KUHAP, Pasal 51 KUHP, Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika yang menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah pengemudi kendaraan karena murni kelalaian si pengendara, maka yang berkewajiban dan bertanggungjawab adalah si pengendara kendaraan bermotor. Namun jikakecelakaan tersebut terjadi karena pelaku berusaha menghindari ruas jalan yang rusak di jalan raya, maka sanksi hukum bisa diberikan kepada pihak pemerintah. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan data-data yang bersumber dari studi kepustakaan yaitu Peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas dan angkutan jalan, sebagai bahan hukum primer dan literatur-literatur seperti buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan, artikel, majalah dan informasi tertulis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang yang dilakukan oleh pengemudi kendaraan bermotor dilakukan melalui jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan melalui Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. Kemudian sanksi hukum yang bisa dijatuhkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain adalah dengan mengikuti pasal 359 KUHP, yakni diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kata kunci: Matinya orang, Pengemudi, kendaraan bermotor.
KEPUTUSAN HAKIM TERHADAP KEJAHATAN ASUSILA YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR
Oley, Ronald
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tindakan asusila yang dilakukan anak dalam perumusan perundang-undangan pidana dan bagaimana pertimbangan hakim dalam melindungi hak-hak anak yang melakukan asusila. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan, bahwa : 1. Cakupan tindak asusila yang dilakukan oleh seorang anak perumusannya selain terdapat dalam KUHP juga terdapat dalam ketentuan diluar KUHPidana yakni dalam Undang-Undang Perlindungan anak sebagai tercantum dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Petimbagangan hukum hakim terhadap tindakan asusila anak selain mempertimbangkan bentuk atau jenis tindak pidana serta besarnya ancaman hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh anak dalam ketentuan hukum yang berlaku juga harus mengkaitkan tujuan pemidanaan sebagai anak dalam pemberian sanksi. Kata kunci: Asusila, anak di bawah umur.
PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM TERSANGKA ATAS TERJADINYA SALAH TANGKAP
Tetepa, Benasto
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesa, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana pertanggungjawaban Penyidik Polri jika terjadi salah tangkap saat menjalankan tugas dan upaya hukum yang dapat dilakukan tersangka apabila terjadi salah tangkap oleh Penyidik Polri. Pertama,  bentuk-bentuk sanksi yang terdapat dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia bila melakukan pelanggaran adalah sebagai berikut; a) Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b) Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas ataupun secara langsung; c) Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi; d) Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan fungsi Kepolisian, selanjutnya, upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi salah tangkap yakni menurut pasal 1 ayat 22 KUHAP, ganti kerugian. Yang menjadi dasar hukum untuk tuntutan ganti kerugian adalah pasal 77 poin b KUHAP, kemudian rehabilitasi sesuai dengan pasal 1 ayat 10 KUHAP pada poin c.  Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh penyidik Polri dibedakan menjadi 2 yaitu tanggung jawab materiil, yakni  mengenai sanksi pernyataan maaf serta tanggung jawab imateriil yakni mengenai sanksi berupa kewajiban pembinaan ulang di lembaga pendidikan Polri. Sedangkan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap yaitu dengan melakukan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. Kata kunci: Upaya hukum, salah tangkap
PIDANA MATI BAGI KORUPTOR
Rahantoknam, Brian
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dialkukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah  pengenaan hukum menimbulkan efek jera kepada koruptor dan apakah pidana mati menimbulkan efek jera pada koruptor. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan, bahwa: 1. Hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Antikorupsi yang diterapkan saat ini di Indonesia di anggap masih terlalu ringan. Hal ini dikarenakan semakin maraknya tindak pidana korupsi yang ditemui dewasa ini. Lemahnya pengawasan dari pemerintah dan aparat-aparat yang terkait menyebabkan para pelaku tindak pidana korupsi dengan leluasa melancarkan aksinya. 2. Pemberantasan korupsi yang tidak dilaksanakan dengan tuntas dan tegas menyebabkan munculnya kasus-kasus korupsi lainnya. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah, membuat orang tergiur untuk memperkaya diri secara instan dengan jalan korupsi tanpa perlu bekerja keras. Kata kunci: Pidana mati, koruptor.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP RESIKO MEDIK DAN MALPRAKTEK DALAM PELAKSANAAN TUGAS DOKTER
Pontoh, Mohamad Rizky
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Metode penelitian ini digunakan sesuai dengan kebutuhannya untuk menghasilkan pembahasan yang dapat diterima baik dari segi yuridis maupun dari segi ilmiah. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana penegakan hukum terhadap pelaksanaan tugas dokter yang memiliki resiko medik dibidang kandungan serta perlindungan hukum bagi dokter terhadap tugas di bidang kandungan apabila terjadi malapraktek. Pertama bila unsur kelalaian dari tindakaan dokter dapat dibuktikan, maka pasal 359 atau 360 KUHP dapat dikenakan kepada dokter yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan luka berat ataupun hilangnya nyawa pasien. Disamping itu berdasarkan 2 dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar (resiko pengobatan) dan alasan pemaaf (terjadinya kecelakaan pada operasi yang sulit). Kedua, sanksi terhadap malpraktek medik adalah dikenakannnya tindakan disiplin yang ditentukan oleh majelis disiplin tenaga kesehatan kepada dokter yang menurut penilaian Majelis tersebut telah melakukan kelalaian. Sedangkan mengenai ganti rugi yang harus dipenuhi dokter yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur tentang ganti rugi dapat mengacu pada kitap undang-undang Hukum Perdata. Mengenai ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 23/1992, tercantum didalam Bab X yang intinya terdiri dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sebagaimana disebutkan dalam pasal 85. Tindak Pidana kejahatan tercantum dalam Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82, sedangkan tindak pidana pelanggaran tercantum dalam Pasal 84.  Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pasal 359 dan 338 KUHP tidak dapat diterapkan pada tindakan dokter yang memiliki resiko medik. Hal ini disebabkan karena pada resiko medik ada salah satu unsur dalam pasal 359 dan 338 KUHP yang tidak dapat dipenuhi, yaitu unsur kelalaian. Kata kunci: Resiko medik, Malpraktek, Kedokteran
KEBIJAKAN HUKUM MENGENAI SYARAT PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
Rori, Winston
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang pemberian remisi berdasarkan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana proses pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsidikaitkan dengan UU 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan, bahwa: 1. Berdasarkan perundang-undangan di Indonesia pemberian remisi atau pengurangan masa penghukuman merupakan haknarapidana dengan disertai batasan-batasan kondisi khusus yang secara hukum membedakan remisi yang diterima narapidana satu dengan yang lainnya,keberadaannya tidak lepas dengan sistem pemasyarakatan yang merupakansuatu tatanan pembinaan terhadap narapidana, maka remisi merupakan suaturangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubahperilaku sesuai dengan tujuan sistem pemasyarakatan. 2. Proses pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 pemberian remisi dibagikan atas dua bagian yaitu remisi umum dan remisi khusus. Bilamana dikaitkan dengan UU korupsi (20 Tahun 2001) maka peraturan remisi harus ditinjau kembali dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh terpidana. Kata kunci: Remisi, tindak pidana korupsi
INTEGRATED CRIMINAL CUSTICE SYSTEM TERHADAP SISTEM PERADILAN TINDAK PIDANA PERIKANAN
Bawekes, Jevons
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menggetahui apa dan bagaimanakah maksud aIntegrated Criminal Justice System Dalam Sistem Peradilan dan bagaimana penerapan Integrated Criminal Justice System Dalam Sistem Peradilan Pidana Perikanan Di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan, bahwa: 1. Integrated criminal justice system adalah sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan. Integrated criminal justice system dapat dijadikan sebagai sebuah system dan sebuah proses. Sebagai sebuah sistem maksudnya ada hubungan fungsional dan institusional antar masing-masing sub bagian dalam rangka penegakkan hukum. Sedangkan sebagai sebuah proses, dimaksudkan bahwa peradilan menempuh proses sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku. 2. Untuk  penerapan Integrated Criminal Justice System dibidang perikanan maka sangat dibutuhkan penguatan fungsi dan peran pengawas perikanan yakni PNS di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polri, Kejaksaan RI., dan KPK. Penguatan fungsi pengawasan perikanan ini dilakukan dengan memperhatikan asas pengolahan perikanan, yaitu: Asas Manfaat, Asas Keadilan, Asas Kebersamaan, Asas Kemitraan, Asas Kemandirian, Asas Pemerataan, Asas Keterpaduan, Asas Keterbukaan, Asas Efisiensi, Asas Kelestarian, dan Asas Pembangunan Yang Berkelanjutan. Kata kunci: Integrated Criminal Custice System, Pidana Perikanan
PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN ANAK DI INDONESIA
Burhani, Jerry
LEX CRIMEN Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Setiap anak berhak untuk menikmati kehidupannya, tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan. Negarapun menjamin seorang anak untuk mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah diatur didalam undang-undang perlindungan anak (UU No. 23 tahun 2002 pasal 4) secara tegas dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa Negara menjamin setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan anak ini patut kita hayati,untuk itu siapapun kita berupaya agar seorang anak tidak menjadi korban kekerasan atau terjerumus dalam hal-hal maupun perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatn tidak terpuji lainnya(kenakalan anak). Kata kunci: Peradilan, anak