cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen" : 21 Documents clear
PERANAN KEPOLISIAN RESORT KOTA MANADO DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) Hasan, Nizar
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran Kepolisian Negara RI dalam penerapan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan bagaimana Kepolisian Negara RI dalam penegakkan hukum pemberantasan perdagangan orang (Human Trafficking) di Manado. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Peran Polisi dalam mengemban tugas dan fungsi sesuai Undang-Undang  yang berlaku untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan dan penyerahan berkas berita acara disampaikan pada penuntut umum sebagaimana kewenangannya, hasil dari proses terhadap mucikari atau calo perdagangan orang (Human Trafficking) dan memulangkan korban kepada keluarganya. 2. Penegakan hukum, kepada aparat penegak hukum berpegang pada peraturan perundang-undangan (KUHP, KUHAP, Undang-Undang  No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang  No. 22 Tahun 2004, Undang-Undang  No. 21 Tahun 2007, Undang-Undang  No. 13 Tahun 2006, Perda Provinsi Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004). Kata kunci: perdagangan orang, kepolisian resort kota Manado
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN PENANGGULANGANNYA Kalalo, Patrick Manuel
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dan apa faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana cara penanggulangannya.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Dalam implementasinya terhadap masyarakat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak pidana perdagangan orang belum secara maksimal di pergunakan dan tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman baik mengenai rumusan deliknya maupun sanksinya. 2. Dengan memahami faktor intern maupun faktor ekstern dalam tindak pidana perdagangan orang maka proses penanggulangan atau pencegahan dapat dilakukan, tentu dengan memaksimalkan aturan-aturan yang berlaku. Kata kunci:  Perdagangan orang, penanggulangannya.
PERTANGGUNGAJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA (UU NO. 21 TAHUN 2007) Porung, Melky Raymon
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi penyebab dilakukannya tindak pidana perdagangan anak (trafficking children) di Indonesia dan bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana perdagangan anak menurut hukum positif Indonesia. Dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Perdagangan Anak (Trafficking children) di Indonesia saat sekarang sangatlah memerlukan perhatian yang khusus dari pemerintah, karena anak-anak adalah penerus generasi yang akan datang dan ditangan merekalah diletakkan harapan bangsa. Begitu banyak factor yang menjadi penyebab terjadinya tindakan trafficking children yaitu: kemiskinan, kurangnya tingkat pendidikan, kurangnya akses informasi, perkawinan dan perceraian di usia dini, tawaran materi yang menggiurkan, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, lapangan kerja yang terbatas, ketergantungan Indonesia pada negara asing, kerusuhan, bencana alam dan lemahnya penegakan hukum bagi trafficker. Kesemua factor ini ditunjang lagi oleh ulah dari beberapa aparat pemerintah yang rendah moralnya dengan melakukan perbuatan melindungi perbuatan perdagangan anak (trafficking children) dengan bertindak sebagai pelindung dari sindikat/organisasi trafficking children ini. 2. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana perdagangan anak sudah datur dengan jelas dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang khusus Pasal 2 sampai dengan Pasal 12; khususnya di daerah SULUT ada PERDA No. 1 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) Terutama Pada Perempuan Dan Anak, dan KUHP dalam pasal-pasalnya seperti Pasal 297, Pasal 263, Pasal 296, Pasal 324, Pasal 325, Pasal 328, pasal 329, Pasal 330 dan Pasal 378. Kata kunci: perdagangan anak, tindak pidana
PERLINDUNGAN TERHADAP HAKIM DARI ANCAMAN KEKERASAN DALAM MENGADILI PERKARA KORUPSI Lentey, Alben C.
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap hakim dari ancaman kekerasan fisik dan psikis dalam mengadili perkara korupsi dan bagaimanakah ancaman kekerasan dalam mengadili perkara korupsi. Melalui penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Bentuk-bentuk ancaman kekerasan dalam mengadili perkara korupsi, yaitu melalui ancaman kekerasan psikis, berupa teror dan intimidasi terhadap diri hakim maupun keluarga selama berlangsung pemeriksaan di pengadilan terhadap suatu perkara korupsi. Ancaman dan kekerasan fisik dapat terjadi secara  langsung  maupun  tindak   langsung   seperti  penganiayaan  bahkan pembunuhan.   Hal   ini   tentunya   dapat  mempengaruhi   kemerdekaan   dan kebebasan hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan. 2. Pembentukan hukum mengenai perlindungan terhadap hakim dalam perkara korupsi baru diatur secara umum sesuai Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, namun tata cara perlindungan khusus belum diatur dalam peraturan pemerintah sebagaimana perlindungan terhadap hakim dalam mengadili perkara tindak pidana terorisme. Kata kunci: korupsi, hakim, kekerasan
KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) MENURUT KUHAP Lantu, Ofriyanto
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan penghentian penyidikan suatu tindak pidana dan bagaimana kewenangan jaksa penuntut umum dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Alasan penghentian penyidikan suatu tindak pidana khusus sudah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yakni; Tidak diperoleh bukti yang cukup; Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; dan  penyidikan ditutup demi hukum. Dalam ketentuan Pasal 14 RUU-KUHAP secara tegas disebutkan bahwa penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena: Nebis in idem; Tersangka meninggal dunia; Sudah lewat waktu; Tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan; UU atau pasal yang yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan putusan pengadilan; dan Bukan tindak pidana atau terdakwa masih di bawah umur 8 tahun pada waktu melakukan tindak pidana. 2. Kewenangan penyidik untuk mengeluarkan SP3 dalam kasus tindak pidana, diberikan kepada tersangka yang kasusnya tidak ditemukan kerugian negara;  pada saat berkurang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus  tersebut karena ternyata kasus tersebut tidak bersifat melawan hukum dan tidak terdapat cukup bukti untuk diteruskan penyidikan perkara tersebut. Kata kunci: SP3, penghentian penyidikan, jaksa
KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TENTANG MENURUNNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP HUKUM DAN APARAT PENEGAK HUKUM DI SULAWESI UTARA Rompis, Tonny
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Rechtstaat (di negara Eropa Kontinental) dan rule of law (di negara Anglo Saxon) merupakan penamaan yang diberikan oleh para pakar hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitualisme dalam sebuah negara yang menganut suatu cita negara hukum[1]. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut cita negara hukum sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945),  sehingga seluruh kegiatan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan atau di dalam melaksanakan pembangunan harus berdasarkan pada ketentuan hukum namun yang menjadi fenomena adalah masyarakat main hakim sendiri (eigenrichting) atau self help dalam menyelesaikan masalah karena ketidakpercayaan lembaga peradilan.[2] Penegakan hukum di suatu negara menurut Satjipto Rahardjo idealnya dilihat sebagai suatu proses yang interaktif, apa yang dipertontonkan kepada masyarakat sebagai hasil penegakan hukum itu tidak dapat diterima sebagai hasil karya penegak hukum sendiri, melainkan suatu hasil bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen yang terlibat di dalam proses itu[3] . Selanjutnya dikemukakan pula oleh Satjipto Rahardjo bahwa proses interaktif tiap-tiap komponen yang terlihat di dalam proses penegakan hukum, dapat berlangsung dengan baik, jika kesiapan dan tiap-tiap komponen tersebut cukup memadai, jika tidak demikian maka peranan hukum baik di dalam mempertahankan kestabilan maupun di dalam menunjang atau mengarahkan pembangunan tidak akan efektif. Oleh karena itu, jika menuntut peranan penegak hukum di dalam pembangunan, maka juga harus menuntut perhatian terhadap pembinaan atau pembangunan di  dalam bidang hukum secara terpadu dan konsisten termasuk putusan hakim yang progresif dan berdasarkan hati nurani.[4] Di negara Republik Indonesia dikenal institusi penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, keadvokatan dan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga hukum.  Kelima unsur penegak hukum ini memegang peranan dan fungsi yang vital dalam penyelenggaraan negara hukum khususnya di bidang peradilan. Masyarakat Indonesia mendambakan terciptanya suatu negara hukum yang baik, di mana salah satu indikatornya adalah penyelenggaraan peradilan yang benar dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Fungsi penegak hukum bersinergi dan setaraf di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan undang-undang sehingga dalam melaksanakan visi dan misinya tidak saling bersinggungan tetapi sebaliknya dapat bersinergi optimal dan kerjasama yang apik di antara penegak hukum tersebut. Hal yang perlu dibina dan dikembangkan adalah selain menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi setiap unsur penegak hukum juga berupaya membina dan mengembangkan rasa kesadaran hukum masyarakat, budaya hukum yang positif harus diciptakan  koordinasi dan pengawasan terhadap penegak hukum harus efektif dalam menciptakan kondisi yang realistis dalam penegakan hukum di Indonesia.  rakyat membutuhkan perlindungan hukum baik dari perbuatan pemerintah maupun perbuatan antara mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukum merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan cita-cita negara hukum dalam praktek[5] . Guna mewujudkan kinerja penegak hukum yang dapat menjawab tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat dalam era reformasi di segala bidang maka tuntutan terbesar yang utama dan terutama yang dihadapi adalah sumber daya manusia dan profesionalisme yang mampu menampung dan merealisasikan tuntutan aspirasi masyarakat sehingga penegak hukum dapat berwibawa dan dicintai masyarakat, semakin melekat dan kental dengan nilai-nilai pemenuhan harapan masyarakat. Keterkaitan antara penegak hukum dengan masyarakat itu sangat erat oleh karena itu sering didengar adanya pemeo yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi ius ubi societas). Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi  dan penurunan kepercayaan tersebut justru banyak terjadi ketika saat ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk ditegakkan. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam kejahatan-kejahatan yang terjadi menjadi realitas yang sangat memprihatinkan seperti yag terjadi di Kota Manado sebagaimana dimuat dalam Republika tanggal 1 April 2015 mengenai keterlibatan aparat Kepolisian dalam pencurian kendaraan bermotor, kasus pencurian ATM  yang kemudian melibatkan pihak penyidik dalam penggelapan barang bukti berupa uang sejumlah milyaran dari tangan pihak tersngka serta terjadinya proses-proses penegakan hukum yang dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat seperti yang dimuat dalam Beritakawanua edisi tanggal 8 Juli 2014 yang menyebutkan penjatuhan vonis lepas dari segala tuntutan atas kasus penggelapan dan pemalsuan yang dilakukan Melia Handoko, penjatuhan vonis yang dianggap ringan terhadap pelaku tindak pidana mall praktek kedokteran yang menyebabkan meninggalnya pasien bernama Julia Fransiska Makatey. Realitas-realitas ini  menunjukkan bahwa  terdapat suatu kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan reaalitas di tengah masyarakat yang menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat . [1] Riduan Syahrani. 1991. Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Alumni :  Bandung. Hlm. 43 [2] Ibid. Hlm. 45 [3] Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah. 1993. Polisi, Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama :  Jakarta. Hlm. 146 [4] Ibid. [5] Sudargo Gautama. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni. Bandung: Hlm. 11
KEWAJIBAN KEPOLISIANMEMBERIKAN PERLINDUNGANTERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Raturoma, George
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimanakah kewajiban kepolisian memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulklan: 1. Perlindungan hukum terhadap hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan kewajiban negara dan/atau masyarakat yang perlu dilaksanakan karena segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. 2. Kewajiban kepolisian memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelaksanaan dari fungsi kepolisian untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kata kunci: Saksi, peradilan, narkotika
PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Kaurow, Glendy J.
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Wewenang Pengadilan Negeri Terhadap Praperadilan Menurut KUHAP dan bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia menurut KUHAP. Melalui penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Menurut KUHAP tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak pada suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Seperti telah disebut dimuka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada kewenangan hakim untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. 2. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman  rumah tangga tempat kediaman orang, begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang. Kata kunci: praperadilan, hak asasi manusia
TINDAK PINDANA PENYELUNDUPAN SEBAGAI DELIK EKONOMI Merianto, Ryan
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan tentang penyeludupan itu dan bagaimana pemecahannya jika terjadi penyuludupan, dilihat dari aspek pidana umum dan delik ekonomi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Delik penyelundupan adalah setiap perbuatan yang melanggar aturan dalam RechtenOrdonantie Stb. 1882 No. 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan perbuatan, mana oleh aturan in casudiancam dengan pidana.Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan. 2. Ordonantie Bea (RechtenOrdonantie) adalah merupakan delik ekonomi tertentu sesuai pasal I ayat I e Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt tahun 1955). Delik  penyelundupan sebagai delik ekonomi tertentu telah memperluas subyek yang dapat dipertanggungjawabkan  secara pidana karena disamping manusia sebagai subyek hukum pidana maka badan hukum juga dapat dijatuhi pidana. KUHP dalam pasal 59 hanya mengenal manusia sebagai subyek hukum pidana sedangkan badan hukum tidak. Demikian pula tentang hukuman dalam tindak  pidana ekonomi (khususnya penyelundupan) selain  pidana utama dikenal pidana tambahan dan tindakan tata  tertib yang dijatuhkan kepada badan hukum. Kata kunci: Tindak pidana, penyelundupan, delik ekonomi.
PERANAN PSIKIATER KRIMINAL TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN Tangahu, Hamzah Erik
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah peranan psikiater kriminal dalam proses penyidikan dan  bagaimanakah kedudukan korban dalam proses penyidikan sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan mencari kebenaran materiil dalam perkara tersebut. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materil selengkap-lengkapnya bagi penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan dalam KUHAP. Untuk permintaan tenaga ahli dalam tahap penyidikan disebutkan dalam pasal 120 (1). Sedangkan permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat dalam pasal 180 (1). Dengan adanya ilmu dari bidang psikologi humanistik yang lebih menekankan kreativitas, vitalitas emosi, eutentisitas, dan pencari makna di atas kepuasan materi maka Pendekatan ini merupakan penampakan sosial dari upaya kita untuk membina hati dan tubuh yang bijak sebagaimana jiwa yang bijak. 2. Sebagai pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh penegak hukum khususnya polisi, jaksa, dan hakim. Fokus perhatian dan aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun demikian, apabila ini dianggap sebagai sesuatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak seluruhnya dapat ditumpakan kepada aparat yang menerapkan aturan hukum pidana. Terpinggirkannya kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana tersebut tidak terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan hukum pidana

Page 2 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue