cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen" : 21 Documents clear
PENERAPAN HAK GANTI RUGI TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP MENURUT PP NOMOR 92 TAHUN 2015 Soplantila, Shynta
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memgetahui bagaimana bentuk pengaturan terhadap penangkapan dan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dan bagaimana penerapan hak ganti rugi terhadap korban salah tangkap menurut PP Nomor 92 Tahun 2015. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan seseorang guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Dalam melakukan penangkapan penyidik tidak dapat menangkap seseorang dengan sembarangan. Pengaturan mengenai penangkapan sendiri telah diatur dalam KUHAP khususnya dalam Pasal 16 sampai Pasal 19. Jika tindakan penangkapan yang dilakukan tidak sesuai dengan pengaturan penangkapan yang telah diatur dalam KUHAP, maka penangkapan dinyatakan tidak sah atau tidak berdasarkan undang-undang. Bentuk perlindungan bagi korban salah tangkap diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Ganti kerugian diartikan sebagai imbalan kepada korban salah tangkap akibat adanya kekeliruan yang dilakukan oleh penegak hukum. Sedangkan, rehabilitasi adalah bentuk perlindungan berupa pemulihan kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya karena adanya tindakan yang tidak berdasarkan undang-undang atau adanya kekeliruan yang dilakukan oleh penegak hukum. 2. Aturan tentang pelaksanaan ganti kerugian diatur dalam PP Nomor 92 Tahun 2015, meskipun PP ini merupakan perubahan atas PP nomor 27 tahun 1983. Namun nyatanya PP ini masih dianggap belum efektif. Hal ini karena adanya tata cara pembayaran ganti kerugian yang begitu rumit sehingga proses pencairan ganti kerugian menjadi berlarut-larut dan tidak sesuai dengan Pasal 11 yang menyatakan bahwa jangka waktu pembayaran dilakukan selama 14 hari. Petikan pengadilan yang dibutuhkan oleh korban untuk mengajukan ganti kerugian juga seringkali terganjal administrasi sampai berhari-hari, padahal dalam Pasal 10 PP Nomor 92 Tahun 2015 telah diatur bahwa petikan pengadilan dapat diterima korban dalam waktu 3 hari.Kata kunci: Penerapan Hak Ganti Rugi, Korban Salah Tangkap
AKUNTABILITAS INSTANSI PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH Dumais, Astrid Angel B.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kinerja pemerintah daerah sesuai dengan asas akuntabilitas  dan bagaimana pengaturan mengenai akuntabilitas instansi pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pelaksanaan kinerja pemerintah daerah sesuai dengan asas akuntabilitas berarti setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara pemerintahan pusat maupun daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pengaturan mengenai akuntabilitas instansi pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah didasarkan pada penyelenggaraan SAKIP meliputi: rencana strategis; Perjanjian Kinerja; pengukuran Kinerja; pengelolaan data Kinerja; pelaporan Kinerja; dan reviu dan evaluasi Kinerja serta laporan pemerintah pusat.Kata kunci:  Akuntabilitas, Instansi, Pemerintah Daerah
FUNGSI KETERANGAN AHLI TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM PERBUATAN PIDANA Tolah, Marinoya G.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses penetapan tersangka dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan bagaimana fungsi keterangan ahli terhadap penetapan seseorang menjadi tersangka dalam suatu perbuatan pidana.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Proses penetapan tersangka dalam sistem peradilan Indonesia adalah berdasarkan apa yang diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 1 angka (14) KUHAP  dan diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan POLRI Pasal 66  sampai dengan Pasal 69, dimana harus didahului dengan penemuan bukti permulaan yang cukup minimal 2 (dua) alat bukti yang digunakan dalam suatu perbuatan pidana dimana penentuan perolehan bukti permulaan yang cukup ini dilakukan dengan melakukan gelar perkara dan kemudian dilanjutkan dengan proses pemeriksaan selanjutnya di depan Kepolisian dan Pengadilan.  2. Keterangan ahli itu mempunyai fungsi untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam suatu perbuatan pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP, dirangkaikan dengan Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179 dan Pasal 186, dimana dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang benar-benar mempunyai keahlian khusus, dimana keahlian ini diperolehnya berdasarkan pengetahuannya yang dipelajarinya bukan berdasarkan penglihatan, ataupun pengalamannya. Orang tersebut benar-benar ahli dalam bidangnya, sehingga keterangan yang diberikannya di depan Kepolisian ataupun Pengadilan yang disertai dengan sumpah ataupun juga janji mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam suatu perbuatan pidana.Kata kunci: Fungsi Keterangan Ahli, Penetapan Tersangka, Perbuatan Pidana
PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA PERPAJAKAN MENURUT UU NO. 28 TAHUN 2007 Tubagus, Indah
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalh untuk mengetahui bagaimana pembuktian dalam tindak pidana pajak dan bagaimana penerapan pembuktian terbalik dalam penegakan hukum pajak serta bagaimana putusan pengadilan dan upaya hukumnya dalam rangka penegakan  hukum pajak. Dengan menggunakan metode penelitianyuridisnormatif, disimpulkan: 1. Pembuktian pada dasarnya bertujuan untuk menemukan adanya kebenaran material atau kebenaran yang sesungguhnya. Untuk menentukan kebenaran yang sesungguhnya tentu tidak mudah karena perlu suatu kemampuan untuk bagaimana dapat membuktikannya. Dalam proses persidangan di muka hakim, pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran bukti-bukti yang dikemukakan oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Dalam sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang perpajakan, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri. Artinya, jika Wajib Pajak telah membayar.dan melaporkan pajaknya dan fiskus tidak menyangkalnya, maka apa yang telah dilaporkan Wajib Pajak dianggap benar dan Wajib Pajak tidak perlu membuktikan kebenaran pembayaran pajaknya. Hal ini sebagai konsekuensi logis sistem self assessment tersebut. 2. Beban pembuktian terbalik tersebut seharusnya juga berlaku untuk bidang pajak. Dengan kata lain, jika suatu tindak pidana di bidang pajak memenuhi kualifikasi yang disebutkan dalam ketentuan tersebut, maka terhadap tindak pidana tersebut ketentuan itu dapat dibertakukan. Hal ini penting karena terdapat dugaan bahwa dari seluruh kekayaan yang dimiliki oleh beberapa aparat pajak ada sebagian yang berasal dari sumber yang tidak sah. 3. Pada dasarnya putusan dalam musyawarah hakim merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika telah diusahakan tidak tercapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila dengan putusan suara terbanyak tidak juga berhasil, maka putusan dimabil berdasarkan pendapat yang paling menguntungkan terdakwa. Setelah hakim mengucapkan putusannya, maka terdakwa diberikan kesempatan umtuk mengajukan upaya hukum yang memang dimungkinkan oleh undang-undang.Katakunci: Penerapan, Asas, Pembuktian Terbalik, Tindak Pidana Perpajakan.
FUNGSI SERTIFIKAT ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH Manoppo, Randhika A.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa tujuan pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan bagaimana fungsi sertifikat hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tujuan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak. Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak dan kepastian objek hak. 2. Fungsi sertifikat hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah adalah untuk membuktikan adanya hak atas tanah dan subjek hak atas tanah melalui data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah tersebut. Data fisik berupa keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Sedangkan data yuridis mengenai status hukum dan subjek pemegang hak atas tanah.Kata kunci: Fungsi Sertifikat, Tanah, Pendaftaran Tanah
FUNGSI SERTA PERAN MASYARAKAT DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI (Penerapan Pasal 41, 42 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) Janis, Fauzi Ibrahim
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai fungsi masyarakat dalam menanggulangi korupsi di dalam Peraturan Perundang-Undangan dan bagaimana bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Pasal 41 dan Pasal 42. Kemudian mengenai tata cara pelaksanaan peran masyarakat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Bentuk peran masyarakat yang dapat dilakukan masyarakat untuk turut serta dalam menanggulangi tindak pidana korupsi, antara lain: peran serta melalui peniup peluit (whistle blower), peran serta melalui justice collaborator, peran serta melalui media, peran serta melalui kegiatan-kegiatan langsung dan peran serta melalui pendidikan anti korupsi.Kata kunci: Peran Serta, Masyarakat, Menggungkap, Mencari, Memperoleh Informasi, Dugaan Telah Terjadi Tindak Pidana Korupsi
KAJIAN YURIDIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN DALAM PRAPERADILAN ATAS PERMINTAAN PIHAK KETIGA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-X/2012 Londah, Eunike
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Penghentian Penyidikan atau Penuntutan dalam  Praperadilan atas permintaan Pihak ketiga menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 dan bagaimana kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 terhadap lembaga praperadilan atas permintaan Pihak Ketiga.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan melalui praperadilan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012, pada umumnya diartikan sebagai korban atau keluarganya. 2. Pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi 98/PUU-X/2012 terhadap lembaga praperadilan dalam KUHAP, yaitu pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP telah diperluas sehingga menjadi “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”.Kata kunci:  Pihak Ketiga Yang Berkepentingan, Permintaan Memeriksa Sah Atau Tidaknya, Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan Dalam Praperadilan
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEKANISME PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERDAGAGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Mamahit, Tiara Meity
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tahapan proses penyidikan tindak pidana perdagangan orang sama dengan penyidikan tindak pidana lainnya sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) dalam Bab XIV bagian kedua. Penyidik melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan orang apabila terdapat laporan korban, laporan keluarga korban, laporan lembaga swadaya masyarakat, berita di televisi dan media cetak, laporan KBRI maupun laporan dari instansi-instansi terkait yang tergabung dalam gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Namun ada beberapa hal yang membedakan dari KUHAP yakni alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP. 2. Penjatuhan sanksi pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang (human traficking) didalam KUHP di atur dalam Buku II Pasal 295 ayat (1) angka 1 dan 2, Pasal 295 ayat (2), Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298 ayat (1) dan (2), dan Pasal 506. Dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 tenntang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana Perdangan Orang yakni dalam Pasal 2 sampai Pasal 12, dan dalam Pasal 15 sampai Pasal 17. Diatur juga dalam Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdangan Orang dalam Pasal 19 sampai Pasal 24.Kata kunci: Tinjauan yuridis, mekanisme penyidikan, tindak pidana, perdagangan orang
PERWAKILAN DIPLOMATIK MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 Walean, Gladys Maria Yohana
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan diplomat Arab Saudi di negara penerima menurut Konvensi Wina 1961 dan bagaimana upaya hukum Pemerintah Indonesia dalam menangani tindak pidana diplomat Arab Saudi terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI).  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tindakan perwakilan diploamtik Arab Saudi tersebut bertentangan dengan Pasal 41 ayat (1) Konvensi Wina 1961 karena tidak menghormati hukum nasional dan peraturan perundang-undangan di negara tempat ia diakreditasikan. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina 1961, Pemerintah Jerman dapat melakukan persona non-grata kepada diplomat Arab Saudi yang melakukan tindak pidana terhadap tenaga kerja Indonesia di negaranya berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961. Pemerintah Arab Saudi dapat melakukan penarikan kembali (recalled) terhadap diplomatnya untuk kembali ke Arab Saudi dan pemerintah negara Jerman dapat mengadili perwakilan diplomatik Arab Saudi apabila hak kekebalan dan keistimewaan diplomat tersebut sudah dicabut oleh negara asal dan terus membantu Dewi Ratnasari melalui pengacara dan organisasi Ban Ying yang menyangkut tentang kekebalan (immunity) diplomatik Arab Saudi. 2. Duta Besar Republik Indonesia mengutus staf untuk memberikan bantuan kekonsuleran, terutama hak-hak dasar dan hak gaji, jaminan sosial, dan biaya kepulangan bagi Dewi Ratnasari. Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan hukum terhadap Tenaga Kerja Indoesia dengan melaksanakan MoU Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan membantu Dewi Ratnasari dalam mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja migran yang belum diberikan.Kata kunci: Perwakilan Diplomatik, tindak pidana,  negara penerima
DISKRESI TUGAS KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Suntaka, Agung Tri Utomo
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan penyalahgunaan dan penyelundupan narkotika di Indonesia saat ini semakin tinggi, apakah melalui perjalanan darat, laut, dan pelabuhan udara, dan atau dengan cara-cara lainnya. Dengan semakin maraknya peredaran narkotika, maka permasalahan penyalah-gunaan narkotika yang menjadi konsentrasi dalam skripsi ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk anak-anak, peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan perlindungan pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, faktor-faktor apakah yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan diskresi kepolisian dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk anak, bagaimana prospek diskresi kepolisian dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Indonesia sekarang ini termasuk negara yang darurat narkoba, karena  penyebaran narkoba tidak pandang bulu, mulai dari kalangan bawah, menengah sampai ke atas, mulai dari preman, swasta, pengangguran, pelajar, pemerintah  bahkan aparatur negara sudah tersentuh dengan narkotika. Penyebaran dan sudah merajalela pemerintah memberikan tanggung jawab memalui Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian untuk bertindak dan memberantas dan menanggulangi peredaran, pengguna, dan pembuat bahan yang berhubungan dengan narkotika di Indonesia.Kata kunci: Diskresi Kepolisian, Tanggung jawab Hukum, Badan Narkotika dan Kepolisian Republik Indonesia.

Page 2 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2017 2017


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue