cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
MEDIA MEDIKA INDONESIANA
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010" : 6 Documents clear
Pengaruh Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia Galanga) Dosis Bertingkat Terhadap Ekspresi Caspase 3 dan Grading Kanker Payudara Mencit C3H Vega Karlowee; Tjahjono Tjahjono; Noor Wijayahadi
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.075 KB)

Abstract

Effect of oral administered graded doses of alpinia galanga on the caspase 3 expression and histopathological grading of breast cancer in C3H miceBackground: 1’-Acetoxychavicol Acetate (ACA), in Alpinia galanga, known to have pro apoptotic and anticancer effects. The pro apoptotic effect is by elevating caspase 8 and 9 activity. ACA causes the cycle cell stops at G0/G1 phase. The aim of this study is to prove the effect on caspase 3 and histopathological grading of breast cancer.Method: It was an laboratory experimental with post test only control group design. Four groups of C3H mice, aged 2-3 months, had breast cancer inoculation. After the tumor mass were palpabled, K received no extract, P1, P2, P3 received Alpinia galanga extract at dose levels of 225, 450, 750 mg/kgBW/day, for 2 weeks. Immunohistochemistry examination of caspase 3 expression was scored with Allred criteria and cancer grading was scored with modified Scarff-Bloom-Richardson (MSBR) criteria. All data were analyzed by Kruskal-Wallis test, with level of significant α <0.05.Result: At P1, P2, P3 there were 1, 5, 7 mice dead in each group before termination, while in K all were survived. Pro protocol analysis showed no significance difference on caspase 3 expression (p=0.137) and grading score (p=0.399) between groups. Intention to treat analysis showed significance differences on caspase 3 expression between P1 with K (p=0.033) and P3 (p=0.005), and significance difference on grading score between P3 with K (p=0.002) and P1 (p=0.004). Histopathology examination showed damages on liver and kidney, especially in P3, which might be the mice’s cause of death.Conclusion: Caspase 3 expression is the highest at dose level of 225 mg/kgBW/day. Grading score is the lowest at dose level of 750 mg/kgBW/day.ABSTRAKLatar belakang: Senyawa 1’-Acetoxychavicol Acetate (ACA) dalam Alpinia galanga memiliki efek proapoptosis dan antikanker. Efek proapoptosis melalui aktivasi caspase 8 dan 9. ACA menyebabkan terhentinya siklus sel fase G0/G1. Tujuan penelititan ini adalah membuktikan adanya efek terhadap caspase 3 dan grading kanker payudara.Metode: Jenis penelitian eksperimental dengan desain post test only control group. Mencit C3H usia 2–3 bulan dibagi 4 kelompok, diinokulasi kanker payudara. Setelah tumbuh massa tumor, kontrol (K) tidak diberi perlakuan dan P1, P2, P3 diberi ekstrak Alpinia galanga dosis 225, 450, 750 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Penilaian ekspresi caspase 3 berdasarkan kriteria Allred dan grading kanker berdasarkan kriteria modified Scarff-Bloom-Richardson (MSBR). Dilakukan uji beda Kruskal-Wallis dengan tingkat kemaknaan α <0,05. Hasil: Pada P1, P2, P3, didapatkan kematian mencit sebanyak 1, 5, dan 7 ekor, sedangkan K tidak ada. Dalam pro protocol analysis, tidak ada perbedaan bermakna ekspresi caspase 3 (p=0,137) maupun grading kanker (p=0,399) antar kelompok. Pada intention to treat analysis ekspresi caspase 3, ada perbedaan bermakna antara P1 dengan K (p=0,033) dan P3 (p=0,005). Pada grading kanker payudara, ada perbedaan bermakna antara P3 dengan K (p=0,002) dan P1 (p=0,004). Pada histopatologis organ, ditemukan kerusakan hati dan ginjal, terutama pada P3, yang kemungkinan mengakibatkan kematian mencit.Kesimpulan: Skor ekspresi caspase 3 kanker payudara tertinggi didapatkan pada dosis 225 mg/kgBB/hari. Skor grading kanker payudara terendah didapatkan pada dosis 750 mg/kgBB/hari.
Kekuatan Genggam pada Lansia Wanita Aktif dan Tidak Aktif Berolahraga Gheby Soraya S; Etisa Adi Murbawani
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.889 KB)

Abstract

Handgrip strength in active and inactive elderly womanBackgrounds: Exercise is one of the factors determining handgrip strength. Lower handgrip strength is an indicator for lower Body Mass Index (BMI). The aim of this study is to compared differences in handgrip strength between active and inactive elderly woman. Methods: This was a cross-sectional study of 26 elderly active woman (spent ≥30 minutes for five times or more a week for exercise) and 26 elderly inactive woman (spent <30 minutes and less than five times a week for exercise). Subject were chosen through purposive sampling. Handgrip strength was measured with handgrip dynamometer. Questionnaire was used for measuring exercise activity. BMI value were obtained from body weight was measurement with digital scale and height measurement with microtoise. Data on energy and protein intake were obtained from food frequency semi quantitative questionnaire (FFSQ). Data analysed were using Kolmogorov-Smirnov, independent t-test, and anacova. Result: Most of active elderly woman (69.2%) had handgrip strength in sufficient category. There were significant differences of handgrip strength between the active and inactive elderly woman (p=0.001) and after being controlled by BMI, energy and protein intake per day (p=0.005). Conclusion: Routine exercise should be recommended to elderly for better handgrip strength.. ABSTRAKLatar belakang: Lansia wanita mempunyai kekuatan genggam yang lebih rendah daripada pria. Kebiasaan olahraga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan genggam. Nilai kekuatan genggam merupakan indikator nilai Indeks Massa Tubuh (IMT). Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kekuatan genggam pada lansia wanita yang aktif dan tidak aktif berolahraga. Metode: Studi cross-sectional pada 26 lansia wanita yang aktif (menghabiskan waktu ≥30 menit dan 5 kali atau lebih dalam seminggu untuk berolahraga) dan 26 lansia wanita yang tidak aktif (menghabiskan waktu <30 menit dan kurang dari 5 kali dalam seminggu untuk berolahraga). Sampel diperoleh dengan cara purposive sampling. Kekuatan genggam diukur menggunakan Handgrip Dynamometer. Kuesioner digunakan untuk mengetahui kebiasaan olahraga. IMT diperoleh dari data berat badan yang diukur dengan timbangan digital dan tinggi badan yang diukur dengan mikrotoa, sedangkan data asupan energi dan protein diperoleh dari Food Frequency Semi Quantitative Questionnaire (FFSQ). Analisis data dengan Kolmogorov-smirnov, Independent t-test dan Anacova. Hasil: Nilai kekuatan genggam sebagian besar lansia wanita yang aktif berolahraga (69,2%) dalam kategori cukup sedangkan sebagian lansia wanita yang tidak aktif berolahraga (53,8%) dalam kategori sangat kurang. Terdapat perbedaan kekuatan genggam sangat bermakna antara lansia wanita yang aktif dan tidak aktif berolahraga (p=0,001) dan setelah dikontrol dengan IMT, asupan energi dan protein (p=0,005).Simpulan: Latihan teratur perlu dilakukan para lansia agar memiliki kekuatan genggam yang baik.
Massa Otot dan Senam Sehat Indonesia pada Wanita Usia Lanjut Ferdy Kurniawan Cayami; Hardhono Susanto
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.526 KB)

Abstract

Muscle mass and senam sehat Indonesia in elderly womenBackground: Health problem in elderly has become main concern because of the population increase. One of the problems is the decrease of musculoskeletal function influenced by the decrease of muscle mass. Activity like exercise can maintain muscle mass. Senam Sehat Indonesia (SSI) is one of well known, easy and right exercise for elderly. The aim of this study was to compare muscle mass between elderly women who exercise SSI regularly and who didn’t in relation with age and Body Mass Index (BMI).Method: An observational study was done with subjects taken from 2 different nursing home based on inclusion criteria. To get the total of muscle mass, we measured the Mid Upper Arm Circumference (MUAC), Triceps Skinfold (TSF) and height followed by calculation with muscle mass formula. Body weight was measured to calculate the muscle mass percentage and BMI. Data were analyzed with ANCOVA test with age and BMI as covariates.Result: A total of 54 subjects with 31 of them (57,41%) had regular exercise. They have better muscle mass (28.96%) of body weight and BMI 21,78 compared to the inactive subjects (28.86% and 24,47; p for muscle mass=0.007).Conclusion: Elderly who had regular exercise had better muscle mass than those who are inactive.ABSTRAKLatar belakang: Kesehatan pada orang lanjut menjadi perhatian saat ini karena jumlah populasinya yang semakin meningkat. Salah satu masalah adalah penurunan fungsi musculoskeletal yang dipengaruhi oleh penurunan massa otot. Aktivitas gerak seperti olahraga berguna untuk mempertahankan massa otot. Senam Sehat Indonesia (SSI) merupakan salah satu olahraga yang mudah dilakukan dan cocok bagi usia lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan massa otot antara wanita usia lanjut yang melakukan SSI dengan yang tidak dengan memperhatikan usia dan Indeks Massa Tubuh (IMT).Metode: Penelitian belah lintang analitik ini dilakukan dengan mengambil subjek dari dua panti wredha yang berbeda dan memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pengukuran lingkar lengan atas, lipatan kulit triceps dan tinggi badan untuk perhitungan dengan rumus untuk massa otot. Berat badan juga diukur untuk menghitung persentase massa otot dan IMT. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik ANCOVA (Analysis of Covariate) dengan kovarian usia dan IMT. Hasil: Dari total 31 subjek yang melakukan SSI dan 23 subjek yang tidak melakukan SSI diperoleh perbedaan sangat bermakna (p=0,007) dengan massa otot yang lebih baik pada yang melakukan SSI. Pada 31 subjek yang melakukan SSI dengan IMT 21,78% memiliki persentase massa otot 28,96% terhadap massa tubuh. Dari 23 subjek yang tidak melakukan SSI dengan IMT 24,77 memiliki persentase massa otot 28,86% terhadap massa tubuh. Simpulan: Massa otot orang usia lanjut yang melakukan Senam Sehat Indonesia secara bermakna berbeda lebih baik daripada yang tidak melakukan Senam Sehat Indonesia.
Perilaku Kadarzi Ibu Balita Ditinjau dari Sudut Pengetahuan dan Prakteknya: Studi Kuantitatif di Suatu Wilayah Urban Fatma Fatma; Yusran Nasution
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.498 KB)

Abstract

The behavior of underfives mothers on kadarzi from their knowledge and practice: a quantitative study in an urban area Background: Poor families at urban area have a high risk to get undernutrition due to low purchasing power for buying nutritious foods. To overcome it, The Indonesian government have been declared Kadarzi (Nutrition Awareness Family) movement since 1998 which aimed to establish nutrition awareness family for achievement an optimal nutritional status of family. However, until now the behavior’s of underfives mothers on Kadarzi at Jakarta City almost unknown because of the limited study on Kadarzi. Actually, role of mothers in family is very important as primary target to determine nutritional status quality of their underfives. Objective: The study aimed to identify the behavior of underfives mothers on Kadarzi from knowledge and practice sites at Penjaringan Village, Penjaringan Sub-district, North Jakarta. Methods: The study design was cross sectional using structured interview to 105 of mothers aged 18-45 years who are still have underfives children. Results: The study revealed that the majority of mothers had low knowledge and practice of Kadarzi due to lack of socialization from local community health centers. They were unfamiliar with the terminology of Kadarzi and considered that Kadarzi was identical with the terms of four healthy and five perfect for toddlers and pregnant women to improve their nutrition and health status. Conclusion: Lack of knowledge and practice on Kadarzi had role on the poor of mothers’ behavior on Kadarzi. Key words: Kadarzi behavior, knowledge, practiceABSTRAKLatar belakang: Keluarga miskin di wilayah perkotaan adalah kelompok paling berisiko terpapar masalah gizi kurang akibat rendahnya daya beli makanan bergizi. Untuk mengatasinya, pemerintah telah meluncurkan Gerakan Kadarzi (Keluarga Sadar Gizi) sejak tahun 1998 dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi guna mencapai status gizi keluarga yang optimal. Namun hingga sekarang, perilaku Kadarzi ibu balita di wilayah miskin (kumuh) di Kota Jakarta hampir tidak diketahui akibat terbatasnya studi. Padahal peran ibu dalam keluarga sangat penting sebagai sasaran primer dalam menentukan kualitas gizi balitanya. Studi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melakukan identifikasi perilaku Kadarzi dari sudut pengetahuan dan praktek ibu balita di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Metode: Desain studi adalah cross sectional dengan metode wawancara terstruktur pada 105 ibu usia 19-45 tahun yang masih memiliki anak balita. Hasil: Mayoritas ibu balita memiliki pengetahuan dan praktek Kadarzi yang rendah karena kurangnya sosialisasi dari puskesmas setempat. Mereka kurang mengenal istilah Kadarzi dan menganggapnya identik dengan terminologi empat sehat lima sempurna bagi anak balita dan ibu hamil untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan. Simpulan: Rendahnya pengetahuan dan praktek ibu balita terhadap Kadarzi berperan terhadap minimnya perilaku Kadarzi ibu balita.
The Role of SHOX Gene in Short Stature of Turner Syndrome and Its Variant Tri Indah Winarni; Farmaditya EP Mundhofir; Sultana MH Faradz
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.987 KB)

Abstract

Background: SHOX gene is located on the edge of each short/p arm sex chromosome called the pseudoautosomal region-1 (PAR1) plays as a fundamental role on controlling chondrocyte differentiation and apoptosis in the growth plate. Longitudinal growth is determined by environmental, hormonal and genetic factors. Short stature is defined as a standing height below the third percentile according to Tanner et al. Short stature affects approximately 2% of children. Turner syndrome is the most common genetic disorder in female characterized by the absence of all or part of a normal second X chromosome, affecting 1:2500 live-born female babies. Short stature and ovarian failure is the main clinical feature. The objective of this study is to elucidate the implication of SHOX gene in short stature of Turner Syndrome and its variant.Method: Purposive sampling was performed to recruit female with short stature after informed consent agreement. Female with growth treatment history and chronic diseases was excluded from this study. Cytogenetics testing was done for all samples by G-banding method, in routine karyotyping. Result: We report 9 females with short stature which cytogenetically and clinically diagnosed as Turner Syndrome. Four cases is classic Turner syndrome with standing height is below third percentile, three cases are 45,X/46,X,i(Xq) with standing height is below third percentile, one case is 46,XX/45,X (80%) with standing height is below third percentile, and the rest is 46,XX/45,X (20%) with standing height is between 3rd–97th percentile or normal.Conclusion: SHOX gene haploinsufficiency is strongly indicated the cause of short stature in Turner Syndrome.ABSTRAKPeran gen SHOX pada perawakan pendek Sindrom Turner dan variannyaLatar belakang: Gen SHOX terdapat di ujung lengan pendek kromosom seks yang disebut pseudoautosomal regio-1 (PAR1) yang berperan penting pada pengaturan diferensiasi kondrosit and apoptosis di lempeng epifisis. Pertumbuhan memanjang ditentukan oleh faktor lingkungan, hormon, dan faktor genetik. Menurut Tanner dkk, perawakan pendek didefinisikan sebagai tinggi badan kurang dari tiga persentil dan diperkirakan terjadi pada 2% populasi anak-anak. Sindrom Turner merupakan kelainan genetik pada perempuan yang paling banyak ditemukan akibat hilangnya sebagian atau seluruh kromosom X normal yang kedua dengan gambaran klinik utama berupa short stature dan insufisiensi ovarium, dengan insidensi 1:2500 bayi lahir hidup. Tujuan penelitian ini untuk memahami peran gen SHOX pada perawakan pendek Sindrom Turner dan variannya.Metode: Subjek penelitian adalah wanita berperawakan pendek yang setuju mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Dilakukan eksklusi untuk wanita berperawakan pendek dengan riwayat pengobatan pemacu pertumbuhan dan penyakit kronik. Pemeriksaan sitogenetik dengan metode pengecatan Giemsa dilakukan pada semua preparat kromosom dilanjutkan dengan analisis kromosom rutin.Hasil: Dilaporkan sembilan (9) wanita berperawakan pendek yang secara sitogenetik dan klinis didiagnosis sebagai Sindrom Turner. Empat kasus didiagnosis sebagai Sindrom Turner klasik dengan tinggi badan di bawah tiga persentil, tiga kasus dengan 45,X/46,X,i(Xq) dengan tinggi badan di bawah tiga persentil, satu kasus dengan 46,XX/45,X (80%) dengan tinggi badan di bawah tiga persentil, dan sisanya adalah 46,XX/45,X (20%) dengan tinggi badan di bawah antara 3-97 persentil atau normal.Simpulan: Haploinsufficiency gen SHOX diduga kuat menyebabkan perawakan pendek pada Sindrom Turner.
Kadar Imunoglobulin M Anti Phenolic Glycolipid-I Mycobacterium Leprae dan Tumor Necrosis Factor-α pada Penderita Lepra Subklinis Yuanita Dian Utama; Soejoto Soejoto; Sri Djoko Susanto; ES Indrayanti; Subakir Subakir; Dhiana Ernawati
MEDIA MEDIKA INDONESIANA 2010:MMI VOLUME 44 ISSUE 2 YEAR 2010
Publisher : MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.611 KB)

Abstract

Immunoglobulin M anti phenolic glycolipid-I mycobacterium leprae level and tumor necrosis factor-α level in subclinical leprosyBackground: In subclinical leprosy, patients have no clinical lesion but seropositive to anti PGL-I antibody specific to M. leprae. On the other hand, TNF-α is produced in majority during innate immunity, inhibits mycobacterial growth and mediates granuloma formation. Mutant allele of TNF2308A has protective role against the development of severe form of leprosy. This study analyzed the correlation between IgM anti PGL-I and TNF-α levels in subclinical leprosy. Method: Study was done at an orphanage, using observational study with cross-sectional approach. Three mililiter peripheral blood were centrifuged and divided into 2 cryotubes. Immunoglobulin M anti PGL-I Mycobacterium leprae levels were measured by quantitative indirect ELISA. Tumor necrosis factor-α levels of subclinical leprosy patients (IgM anti PGL-I M. leprae level ≥600 U/mL) were measured using Human TNF-α ELISA Bender Medsystems for sandwich ELISA. Analysis of distribution normality using Shapiro-Wilk, continued with Rank Spearman correlation test.Result: Immunoglobulin M anti PGL-I levels were ranged between 616.85-1753.8 U/mL. Tumor necrosis factor-α levels were ranged between 2.72-50.13 pg/mL. There was significant positive correlation between IgM anti PGL-I level 600-1000 U/mL and TNF-α level (p=0.714; p=0.006), and insignificant negative correlation between IgM anti PGL-I level ≥1000 U/mL and TNF-α level (p=-0.172; p=0.557). Conclusion: There were significant positive correlation between IgM anti PGL-I level 600-1000 U/mL and TNF-α level, and insignificant negative correlation between IgM anti PGL-I level ≥1000 U/mL and TNF-α level. ABSTRAKLatar belakang: Pada lepra subklinis tidak dijumpai lesi, namun ditemukan antibodi anti PGL-I yang spesifik terhadap M. leprae. Di sisi lain, TNF-α dihasilkan terutama pada imunitas alami, dapat menghambat pertumbuhan mikobakteria dan memperantarai pembentukan granuloma. Alel mutan TNF2308A diketahui protektif mencegah berkembangnya bentuk lepra yang lebih berat. Penelitian ini menganalisis hubungan antara kadar IgM anti PGL-I dan TNF-α lepra subklinis.Metode: Penelitian dilakukan di sebuah panti asuhan secara observasional dengan pendekatan cross-sectional. Tiga mililiter darah perifer, disentrifus, kemudian dibagi dalam 2 cryotube. Pemeriksaan kadar IgM anti PGL-I M. leprae menggunakan ELISA indirek kuantitatif. Pada penderita lepra subklinis (kadar IgM anti PGL-I M. leprae ≥600 U/mL) diperiksa kadar TNF-α menggunakan ELISA sandwich dengan Human TNF-α ELISA Bender Medsystems. Analisis uji normalitas distribusi dengan Shapiro-Wilk, dilanjutkan uji korelasi Rank Spearman.Hasil: Kadar IgM anti PGL-I berkisar antara 616,85-1753,8 U/mL. Kadar TNF-α berkisar antara 2,72-50,13 pg/mL. Terdapat hubungan positif bermakna (p=0,714; p=0,006) antara kadar IgM anti PGL-I 600-1000 U/mL dan kadar TNF-α, dan hubungan negatif tidak bermakna (p=-0,172; p=0,557) antara kadar IgM anti PGL-I ≥1000 U/mL dan kadar TNF-α. Simpulan: Pada kadar IgM anti PGL-I 600-1000 U/mL, semakin tinggi kadar IgM anti PGL-I, semakin tinggi pula kadar TNF-α; sedangkan pada kadar IgM anti PGL-I ≥1000 U/mL terdapat kecenderungan hubungan terbalik yang tidak bermakna.

Page 1 of 1 | Total Record : 6