cover
Contact Name
Ihdi Karim Makinara
Contact Email
Ihdi Karim Makinara
Phone
+6282304008070
Journal Mail Official
mediasyariah@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial
ISSN : 14112353     EISSN : 25795090     DOI : http://dx.doi.org/10.22373/jms
This journal focused on Islamic Law Studies and present developments through the publication of articles, research reports, and book reviews. SCOPE Ahkam specializes on Islamic law, and is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 22, No 1 (2020)" : 7 Documents clear
Publikasi Pelaku Jarimah dan Tindak Pidana Pers dalam Islam Mujtahid Mujtahid
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6894

Abstract

Abstrak: Publikasi media dengan cepat terhadap seseorang yang masih belum terbukti bersalah, dianggap merugikan orang lain. Di mana anak dan keluarga yang diberitakan tersebut sudah terlebih dahulu mendapatkan hukuman sosial, sehingga sudah tidak berani untuk berinteraksi dengan masyarakat. Dengan semangat kebebasan berpendapat dan menyampaikan fikiran serta kebebasan pers maka pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers sebagai lembaga sosial masyarakat yang berfungsi sebagai kontrol sosial di masyarakat. Penelitian ini berbentuk library research, yaitu yang berpijak pada sumber data kepustakaan, baik primer maupun sekunder. Sehingga menghasilkan kesimpulan yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan manusia kekinian. Berdasarkan analisis-analisis, penelitian ini menghasilkan kesimpulan: pers diperbolehkan untuk mempublikasi pelaku kejahatan selama tidak menghakimi dan sesuai dengan proses peradilan. Bahkan wajib dipublikasi apabila kejahatan yang dilakukan berdampak bagi masyarakat, seperti korupsi. Dalam fikih jinayah tindak pidana pers termasuk dalam kategori jarimah dikenakan hukuman takzir, hal ini ditelusuri melalui nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi dan pendapat para ulama. Abstract: Media publication against someone who has not been proven guilty yet is considered harmful to others. Their children and families often suffer social punishment, so they are discouraged to interact with the community. In the spirit of freedom of opinion and expression of thoughts and freedom of the press, the Indonesian government issued Act No. 40 of 1999 concerning the Press. The press as a social institution serves a role of social control in the community. This research is in the form of library research, based on both primary and secondary data sources, that is expected to deliver a comprehensive conclusion in accordance with current human needs. Based on the analysis, this research concludes that the press is allowed to publicize the perpetrators of the crime as long as they are not judgmental and is in accordance with the judicial process. In fact, the press is required to publish it if the crime committed affect the community, such as corruption. According to Jinayah jurisprudence, press crimes, which belong to jarimah category, are subject to takzir sentence. This is traced through the texts of the Qur'an, the hadith of the Prophet, and the notions of the scholars.
Tanggapan Ulama Dayah Terhadap Pembagian Harta Bersama Menurut Pasal 97 KHI Zaiyad Zubaidi
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6615

Abstract

Abstrak: Ketentuan tentang cara pembagian harta bersama diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 dengan pola seperdua. Namun dalam prakteknya, masyarakat di Kabupaten Bireuen melakukan pembagian harta bersama dengan pola sepertiga. Karena itu, muncul pertanyaan apa dasar filosofi pembagian KHI dengan pola seperdua pasal 97 KHI tersebut dan mengapa praktek pembagian harta bersama di Kabupaten Bireuen dilakukan pembagiannya dengan pola sepertiga. Pertanyaan selanjutnya bagaimana tanggapan mereka terkait pola pembagian harta bersama pasal 97 KHI. Ketiga pertanyaan itulah menjadi fokus pembahasan dalam artikel ini. Berdasarkan data yang diperoleh dan wawancara dengan beberapa responden menyatakan bahwa filosofi pembagian harta bersama dengan pola seperdua untuk melindungi dan memperkuat eksistensi perempuan secara finansial. Sedangkan praktek pembagian harta bersama di Kabupaten Bireuen pada umumnya dilakukan dengan pola sepertiga, dalam kasus-kasus tertentu juga diterapkan seperti halnya pola pembagian KHI. Menanggapi ini, ulama dayah di Kabupaten Bireuen tidak menolak rumusan pembagian harta bersama pasal 97 KHI dengan pola seperdua. Keberadaan KHI dengan pola seperdua di tengah masyarakat untuk memperkuat tradisi masyarakat yang melakukan pembagian harta bersama dengan pola sepertiga.Abstract: Provisions on how to divide shared assets are regulated in Article 97 Compilation of Islamic Law in a half pattern. However, in practice, the people in Bireuen Regency divide shared assets in a third pattern. Therefore, the question arises as to what is the basis for the philosophy of the division of KHI with the pattern of the twofold article 97 of the KHI and why is the practice of sharing shared assets in Bireuen Regency carried out in a one-third pattern. The next question is how their response is related to the pattern of sharing assets with article 97 KHI. These three questions are the focus of the discussion in this article. Based on data obtained and interviews with several respondents stated that the philosophy of the distribution of assets together with the pattern of the two to protect and strengthen the existence of women financially. While the practice of sharing assets in Bireuen Regency is generally carried out in a third pattern, in certain cases it is also applied as a pattern of KHI distribution. In response to this, the dayah ulemas in Bireuen Regency did not reject the formulation of the division of joint assets of article 97 KHI in a second pattern. The existence of KHI with the pattern of one-half in the middle of the community to strengthen the traditions of the people who do joint property with a pattern of one third.
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam Aulil Amri
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6719

Abstract

 Abstrak: Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Perkawinan tersebut telah terjadi di kalangan masyarakat (di berbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, tidak juga berarti bahwa persoalan perkawinan beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 yang tidak mengakomodir persoalan perkawinan beda agama. Persoalan yang muncul belakangan ini adalah banyaknya orang yang telah beriman tetapi belum memeluk Agama Islam. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri disamping banyaknya bebagai pendapat fuqaha terhadap perkawinan beda agama ini. Konsep dasar dalam Islam bahwa jika orang-orang musyrik tersebut telah beriman maka boleh orang muslim menikah dengannya. Selanjutnya KHI yang berlandaskan dengan Inpres Tahun 1991 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum dalam hirarki perundang-undangan dan UU Perkawinan juga tidak mengatur secara tegas tentang pelarangan nikah beda agama ini. Perkawinan adalah salah satu media dakwah menyerukan orang menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Dengan ada peluang seperti ini, melalui jalan perkawinan diharapkan calon yang telah beriman tersebut mendapat tuntunan dan ajaran dari pasangannya yang muslim. Dengan melalui proses pendekatan emosional dapat memahami Islam secara baik, sehingga menjadi muallaf dan memahami Islam secara utuh kedepannya.Abstract: Different religious marriages is indeed not a new thing for multicultural Indonesian society. This marriage has taken place in the community (in various social dimensions) and has been going on for a long time. However, this does not also mean that the issue of different religious marriages is not a problem, and even tends to always cause controversy among the people. There is an assumption that the cause is the existence of Law No. 1 of 1974 which does not accommodate problems of different religious marriages. The problem that arises lately is the number of people who have faith but have not converted to Islam. This is certainly a problem in addition to the many different opinions of the fuqaha towards different religious marriages. The basic concept in Islam is that if the polytheists have faithful then Muslims may marry him. Furthermore KHI which is based on the Inpres of 1991 no longer has legal force in the hierarchy of legislation and the Marriage Law also does not explicitly regulate the prohibition of different religious marriages. Marriage is one of the da'wah media calling for people to go on the right path under teachings sourced from the Qur'an and Hadith. With opportunities like this, it is hoped that through the marriage awaited candidates have faithful will receive guidance and teachings from their Muslim partners. By going through the emotional approach process, you can understand Islam well, so that you will become a Muslim and understand Islam fully in the future.
Nazhir dalam Lembaga Wakaf: Kemandirian Wakaf Masyarakat di Kabupaten Bireuen Alfurqan Alfurqan
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6059

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kenapa nazhir wakaf tidak optimal fungsinya seperti yang dicita-citakan oleh fikih wakaf dan undang-undang wakaf? Kenapa nazhir wakaf di Bireuen belum optimal mengelola harta wakaf? Dan bagaimana strategi untuk mengoptimalkan peran nazhir wakaf di Bireuen? Riset dipusatkan pada kedudukan nazhir wakaf menurut fikih dan perundang-undangan, dan terfokus pada kedudukan nazhir wakaf dalam praktik wakaf di Bireuen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fikih wakaf dan undang-undang wakaf belum dapat memperkuat nazhir dalam praktik wakaf. Dalam fikih wakaf, nazhir bukan rukun wakaf, bahasan nazhir  diulas secara implisit ketika membahas persyaratan wakif. Sedangkan dalam undang-undang wakaf, wakaf belum diatur secara formil sebagai badan hukum. Nazhir wakaf yang melibatkan pemerintah belum optimal menjalankan tugasnya karena pemerintah telah mengelola secara penuh tanah wakaf masyarakat untuk pendidikan madrasah dan sekolah. Yayasan Almuslim Peusangan dan Yayasan Darul Ma‘arif tidak optimal mengelola harta wakaf berdasarkan anggaran dasar yayasan. Yayasan dibentuk sebatas memenuhi persyaratan administrasi dalam menjalankan programnya untuk pendidikan. Abstract: This research aims to find out why waqf nazhir is not functioning optimally as envisioned by the waqf fiqh and waqf law? Why is waqf in Bireuen not optimal in managing waqf property? And what is the strategy to optimize the role of Nazaf Waqf in Bireuen? This research was centered on the position of Nazaf Waqf according to fiqh and legislation, and focused on the position of Nazaf Waqf in the practice of Waqf in Bireuen. The results showed that, the waqf fiqh and waqf laws have not been able to strengthen nazhir in the practice of waqf. In waqf fiqh, Nazir is not a pillar of waqf, Nazir's discussion is implicitly discussed when discussing waqf requirements. Whereas in the waqf law, waqf has not yet been formally regulated as a legal entity. Nazhir waqf involving the government has not been optimal in carrying out its duties because the government has fully managed community waqf land for madrasa and school education. The Almuslim Peusangan Foundation and the Darul Ma‘arif Foundation are not optimally managing waqf assets based on the foundation's charter. The foundation was formed limited to meet administrative requirements in carrying out its programs for education.
Sistem Pewarisan Masyarakat Adat di Lingkungan Etnik Gayo Jamhir Jamhir; Syahriandi Gayo
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.3666

Abstract

Abstrak: Artikel ini bertujuan mengemukakan sistim kewarisan apa yang lebih dominan diterapkan oleh etnik Gayo? Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu dengan jalan mendiskripsikan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah dan unit yang diteliti dengan menggunakan pendekatan sosio-antropologis, yaitu pendekatan terhadap suatu masalah dengan cara melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini jenis sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan sampel probabilitas secara random. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat Gayo dalam penyelesaian warisan lebih memilih melalui hukum waris adat. Dengan kata lain persepsi masyarakat Gayo terhadap sistim hukum waris adat Gayo begitu diperioritaskan. Dari jawaban responden yang lebih melaksanakan hukum waris secara adat mencapai proporsi 63.30% dari keseluruhan sampel. Selain itu masih mengakarnya adat yang menjadi pengamalan hidup pada masyarakat Gayo. Dari jawaban responden sekitar 40.82% menyatakan hukum adat sudah berakar secara turun temurun, kemudian 30.42% menjawab untuk menghormati dan melestarikan hukum adat dan 15% menjawab takut mendapat kutukan dari sanksi adat bila hukum adat tidak dilaksanakan.Abstract: This research study aims to show which inheritance system is more dominantly applied by the Gayo ethnic group? This research is analytical descriptive, namely by describing several variables related to the problem and the unit under study using the socio-anthropological approach, which is the approach to a problem by looking at the facts that occur in society. In this case, the type of sample used is purposive sampling and random probability samples. The conclusion from this study shows that the tendency of the Gayo people to settle their inheritance prefers it through customary inheritance law. In other words, the perception of the Gayo community on the customary inheritance system of Gayo is prioritized. From the answers of respondents who carry out customary inheritance law, it reaches 63.30% proportion of the whole sample. Also, it is still rooted in adat which is a living practice for the Gayo people. From the respondents' answers, around 40.82% stated that customary law had been rooted for generations, then 30.42% responded to respecting and preserving customary law and 15% said they were afraid of being banned by adat sanctions if customary law was not implemented.
Wali Nikah Fasik (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i) Husni A. Jalil; Tia Wirnanda
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6533

Abstract

Abstrak: Tulisan ini mengkaji perbandingan antara mazhab Hanafi dan Syafi’i yang membahas mengenai wali nikah yang fasik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa menurut mazhab Hanafi wali yang fasik boleh menjadi wali dalam pernikahan anak atau keponaan perempuannya. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i tidak sah wali nikah orang yang fasik, akan tetapi beliau mensyaratkan wali itu harus adil. Perbandingan keabsahan wali nikah yang fasik keduanya berbeda dalam memahami hadis dari segi maknanya, hadis yang digu nakan berbeda mazhab Hanafi menggunakan dasar hadis yang lemah, sedangkan mazhab Syafi’i menggunakan dalil yang kekuatan sanad, matan serta rawi yang kuat.Abstrak: This paper examines the comparison between the Hanafi and Shafi'i schools which discuss wicked marriage guardians. From the results of the study it can be concluded that according to the Hanafi school of wicked guardians may be guardians in child marriages or female nieces. Whereas according to the Shafi'i school the illegitimate marriage guardian of the wicked, but he requires that guardian must be fair. Comparison of the validity of wicked marriage guardians both differ in understanding the hadith in terms of meaning, the traditions used are different Hanafi schools using a weak basis of hadith, while the Shafi'i school uses a proposition that is the power of sanad, matan and strong rawi.
Pengaruh Bantuan Kemanusiaan Aceh bagi Pengungsi Rohingnya Terhadap Upaya Diplomasi Kemanusiaan Mumtazinur Mumtazinur
Media Syari'ah Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v22i1.6825

Abstract

Abstrak : Tulisan  ini beranjak dari krisis kemanusiaan yang melanda Rakhine Myanmar yang berimbas pada munculnya arus pengungsi eksternal menuju berbagai negara termasuk Indonesia. Bantuan Kemanusiaan yang diberikan oleh masyarakat Aceh menjadi penting mengingat banyak negara yang menolak kehadiran pengungsi Rohingya ini.  Selain itu tulisan ini mencoba mengulas bantuan kemanusiaan Aceh bagi Pengungsi Rohingya serta korelasinya bagi upaya diplomasi kemanusiaan (Humanitarian Diplomacy) Pemerintah Indonesia. tulisan ini juga memaparkan latar belakang bantuan kemanusiaan yang diberikan masyarakat Aceh bagi pengungsi Rohingya serta bentuk-bentuk bantuan yang diberikan. Bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh masyarakat Aceh kepada pengungsi Rohingya turut mempengaruhi upaya diplomasi kemanusiaan pemerintah Indonesia. Peran masyarakat aceh yang dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai aktor kemanusiaan turut memperkuat sekaligus menegaskan posisi kepemimpinan Indonesia ditingkat kawasan dan global sebagai pendukung perdamaian dunia. Sehingga secara tidak langsung masyarakat Aceh juga menempatkan dirinya sebagai peace supporter yang siap menyokong kebijakan politik luar negeri Indonesia dan yang mengedepankan diplomasi kemanusiaan sebagai langkah strategis menciptakan perdamaian dunia.Abstract : This paper begins from the humanitarian crisis that struck Rakhine Myanmar which impacted on the emergence of external refugee flows to various countries including Indonesia. Humanitarian assistance provided by the people of Aceh becomes important considering that many countries reject the presence of these Rohingya refugees. In addition, this paper attempts to review Aceh's humanitarian assistance to Rohingya refugees and their correlation to the Indonesian Government's humanitarian diplomacy. This paper also describes the background of humanitarian assistance provided by the Acehnese people to Rohingya refugees and the forms of assistance provided. Humanitarian assistance provided by the people of Aceh to Rohingya refugees also influenced the Indonesian government's humanitarian diplomacy efforts. The role of the Acehnese community which in this context can be said is one of a humanitarian actor that also strengthens and emphasizes Indonesia's leadership position at the regional and global level as a supporter of world peace. So that the people of Aceh indirectly in the position  as peace supporters who are ready to support Indonesia's foreign policy and who promote humanitarian diplomacy as a strategical step to create peace for entire world.

Page 1 of 1 | Total Record : 7