cover
Contact Name
Abdul Wachid BS
Contact Email
abdulwachid@uinsaizu.ac.id
Phone
+62811303136
Journal Mail Official
ibda@uinsaizu.ac.id
Editorial Address
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Jl. Jend. A. Yani No. 40A Purwokerto 53126 Jawa Tengah - Indonesia
Location
Kab. banyumas,
Jawa tengah
INDONESIA
IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
ISSN : 16936736     EISSN : 24775517     DOI : https://doi.org/10.24090/ibda
IBDA`: Jurnal Kajian Islam dan Budaya focuses on the study of Islamic culture that developed in society, as well as the culture that developed in Muslim societies. The scope of the study includes: a) Beliefs system in Islam, b) Ideas of Muslim scholars, c) Ritual system in Islam, d) Islamic institutions and organizations, e) Traditions or customs in Islamic society, and f) Literature and Islamic arts. IBDA`: Jurnal Kajian Islam dan Budaya aims to build a comprehensive understanding of Islamic norms in religious texts and their realization in social life. If the author comes from Indonesia, please submit articles in Indonesian. After the article has accepted to publish by the Ibda Journal Editorial Board, the writer of the article must be willing to follow the rules for translating the article into English with the translator specified by the Ibda Journal.
Articles 290 Documents
THE CULTURE OF RELIGIOUS AND EDUCATION ACTS BY FOREIGN ORIGIN MOSLEM TRAVELERS AND TRADERS IN INDONESIA Arif Adi Wibawa
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.06 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.674

Abstract

Culture has been and always considered as soulful and interesting topic for its concern toward ideas, opinion and human being acts since classic ages until modern time. When traveling and trading have been used also as common activity since classic period of world and Islam history, the activities and achievements surely can be recorded and be analyzed and after that can be included and classified as human culture. Arabians and Chinese who known and famous for their traveling, world expedition and trading have arrived to Indonesian archipelagoes in many centuries ago. They stayed and finally have decided this place as the last land. Communities and civilizations have been built by them. This essay recorded the coming history of them, showed their Islamic and education acts and analyzed those in the big frame of culture term, and aimed to link them as culture construction process and emphasized a statement that Islamic religious and education acts can take the parts in.
Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ Tulangbawang dalam Perspektif Hukum Islam Abu Thalib Khalik
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.987 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.675

Abstract

Local wisdom of Indigenous Peoples Migou Pa ‘Tulangbawang Lampung, contains a few anomalies. First, a person who violates customary law will be sanctioned in accordance with the level of the rank of cultures. If he is on the level of indigenous higher, the sanctions given to him will be doubled from legal sanctions must be received by people of customary middle class. In accordance, if he comes from the lowest class, he will get legal sanctions only half of the second level. Second, the natures of anomalies were found on the punishment for adultery to be discharged into the jungle. As adultery is considered an act of animal, the adultery are to be gathered with the animals in the forest. Nowadays, this kind of action could be considered not humane or could also be considered a violation of Human Rights (HAM). All this, according to the author, is intended that people of high rank could be more cautious, more aware of, and even obeying the law. In addition, according to the author, the fact that adultery should be thrown into the jungle is intended to provide a deterrent effect. Third, in the case of violation of the law which should eventually be fined, all members of his clique will be liable to pay a fine. It is intended that the family relatives of the click constantly remind each other that the violation of the law could be fatal. Kearifan lokal Adat Masyarakat Migou Pa’ Tulangbawang Lampung, mengandung beberapa hal anomaly yakni, pertama seseorang yang melakukan pelanggaran hukum adat akan dikenai sanksi sesuai dengan level pangkat adatnya, jika sesorang itu dari level adat yang tinggi maka sanksi hukuman yang diberikan kepadanya akan dua kali lipat dari sanksi hukum yang harus diterima oleh orang yang pangkat adatnya klas  menengah, sebaliknya jika sipelaku itu berasal dari kelas terendah maka sanksi hukumnya hanya separuh dari sanksi hukum orang level kedua. Kedua sifat anomaly itu terdapat pada hukuman bagi pelaku zina yang harus dibuang ke rimba, hanya karena perbuatan zina itu telah dianggap sebagai perbuatan binatang, maka para pelaku zina itu harus dikumpulkan dengan hewan–hewan di hutan, untuk zaman sekarang tindakan semacam ini bisa dianggap tidak manusiawi atau juga bisa dianggap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua ini menurut penulis dimaksudkan agar orang–orang berpangkat tinggi itu bisa lebih hati–hati, lebih sadar bahkan taat hukum, kemudian pelaku zina harus dibuang ke rimba raya menurut penulis hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera. Ketiga jika terjadi pelanggaran hukum yang akhirnya harus dikenai sanksi denda maka segenap anggota kliknya yang menanggung kewajiban membayar denda itu, dimaksudkan agar sanak family yang satu klik itu senantiasa saling mengingatkan bahwa pelanggaran hukum itu bisa berakibat fatal.
PENGARUH ISLAM DALAM PERUBAHAN NAMA DIRI SUKU BUGIS: SEBUAH TINJAUAN SEJARAH Aslan Abidin
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (99.273 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.676

Abstract

Nama diri, yang merupakan identitas bagi seseorang, merupakan tanda bahasa tersendiri. Sebagai tanda bahasa, nama diri dapat merupakan bahasa dari kebudayaan sendiri maupun dari luar kebudayaan si pengguna nama. Semisal nama-nama kebanyakan suku Bugis –yang mayoritas beragama Islam— sebelumnya menggunakan bahasa Bugis, setelah kedatangan agama Islam di abad 17, berubah memakai nama dari bahasa Arab. Studi ini menggunakan pendekatan sejarah terhadap teks-teks nama diri orang Bugis yang berubah berdasarkan peristiwa keagamaan, politik, maupun sosial yang melatarinya. Rentetan peristiwa sejarah ternyata tercatat dalam runtutan perubahan nama-nama orang Bugis. Penaklukan suku Bugis oleh Kerajaan Gowa-Tallo dalam Perang Islam (Musu Selleng), penjajahan Belanda, Jepang, pemberontakan Kahar Muzakkar, kedatangan sekolah, sampai budaya populer, menjadi latar peristiwa berubahnya nama orang Bugis.
Doing Business in the House of God: Negotiation Space between Worship and Economics on Friday Prayer Muhammad Yafiz
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.276 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.679

Abstract

This article describes about  negotiation space between worship and economics on Friday prayer at Masjid Ulul Albab (MUA) Medan. The main focus on this research is the appearance of pedagang kagetan (sudden traders) on Friday pray laying down their merchandises such as worship equipments, Moslem clothing, meal, snack, mineral water, etc around the mosque. The findings of this articles is the phenomenon where there is  there is a change  function of the mosque becomes  a market. To understand the phenomenon, there are two questions appear:  what are the factors that contribute to the negotiations of worship and the economy and how the practice of economic progress. This paper explains that the factors pushing this situation because  there is  “blurring” between the room of worship and economic boundaries. Thus  there is dominance of economic  in the worship space. It happens because there is mutual need between merchants and pilgrims. It is done to meet the needs of the merchant family.
TEMBHANG MACAPAT DALAM TRADISI ISLAMI MASYARAKAT MADURA Edi Susanto
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.927 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.682

Abstract

This article is about to describe Tembhang Macapat in the tradition of Madurese people, particularly in the village of Larangan Luar that is located in Larangan district of Pamekasan regency. It has been stated that Tembhang Macapat appears as cultural treasure that its existence needs to conserve. However it is as well claimed as out of dated culture since its noble and gallant values have been decreased. Hence structured and thoughtful attempts must be designed to promote Tembhang Macapat and the other traditional treasures in form of local content curriculum. Furthermore the department in charge, The Youth, Sport, and Cultural Affairs (Disporabud), must get optimally involved to look after and develop the local tradition by supporting any events of tradition development. As a result it could raise and fertilize the local tradition everlastingly or at least it is able to survive in the future time.
BUDAYA KONSUMEN BULAN RAMADHAN BAGI MASYARAKAT MODERN DI INDONESIA Arif Hidayat
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.29 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.684

Abstract

Tulisan ini berusaha untuk mengungkap budaya konsumen di masyarakat modern Indonesia. Tulisan ini mengacu pada sistem tanda (semiotika) yang berusaha untuk membongkar tanda-tanda baik secara visual maupun mitos yang hidup dalam tatanan masyarakat modern. Sementara itu, pemikiran Jean P Baudrillard memberikan sumbangan yang sangat besar terkait dengan wacana simulasi dalam promosi, juga pandangannya tentang masyarakat konsumsi. Praktik analisis dari cultural studi sendiri mengacu pada kerangka multi-interdisipliner atas satu objek karena objek tersebut terhubung dengan beberapa komponen entitas yang harus ditelusuri. Ini menjadikan kerja bolak-balik untuk melihat sistem budaya konsumen dalam balutan wacana agama yang harus dikembalikan pada esensi dari agama tersebut. Dalam cultural studi, analisis tidak hanya membedah atau membongkar makna saja, melaikan harus sampai pada menjahit kembali atau merekonstruksi bangunan kembali. Hasilnya, ada usaha untuk membentuk kesadaran mengenai konsumsi yang baik dalam bulan ramadhan berdasarkan keimanan dalam mencapai nilai kemanusiaan. Kesadaran itu berupa pengetahuan kepada masyarakat tentang kesadaran untuk tidak mengonsumsi barang dari permainan simbol dan tanda.
ROLE OF WALI, ANCIENT MOSQUE AND SACRED TOMB IN ISLAM SPREADING DYNAMICS IN CIKAKAK arnis rachmadhani
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.006 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.685

Abstract

AbstractThis qualitative research was conducted in the Islamic communities who base all its activities on Aboge calendar calculations in the village of Cikakak,Wangon, District of Banyumas. Data collected by interview, observation, and documentation. This study found an association between the role of the Wali, the ancient mosque and shrine in the spread of Islam in the village Cikakak. Jaro Rajab ritual or grave pilgrimage or nyadran held every 26th of Rajab as a symbol of respect to KyaI Mustolih who spread Islam in the 17th century. Kyai Mustolih built Saka Tunggal Mosque in 1288 AD. Social practices of mutual assistance and cooperation is reflected in Jaro Rajab ritual performed in the tomb and mosque complex. Jaro Rajab ritual functioning as a unity element for communities and faiths.
ISLAM ABOGE DALAM TRADISI JAWA ALASTUA Sakirman Sakirman
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.036 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i2.702

Abstract

Islam masuk ke tanah Jawa dalam keadaan penduduknya telah memiliki tradisi dan budaya berupa kepercayaan adanya kekuatan pada benda-benda tertentu (dinamisme), adanya kekuatan pada arwah orang yang meninggal (animisme) dan kepercayaan adanya kekuatan pada binatang-binatang (totemisme). Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun, diyakini, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Islam datang, keyakinan dan kepercayaan tersebut  melebur dalam budaya Islam. Sehingga munculah apa yang disebut dengan sinkretisme Islam, yaitu akulturasi budaya Islam dengan tradisi lokal. Di antara bentuk akulturasi budaya lokal (Jawa) dengan Islam adalah tradisi yang dianut oleh komunitas Islam Aboge. Komunitas ini melaksanakan tradisi-tradisi Jawa dengan dibumbui tradisi Islam, maka munculah Islam dengan cita rasa lokal (islam lokal). Kekhasan dari komunitas ini adalah masih menggunakan model Penanggalan Islam Jawa yakni Penanggalan Aboge untuk menetapkan awal Ramadhan, Hari Raya Idhul Fitri dan Idhul Adha. Kata Aboge adalah singkatan dari Alip Rebo Wage yang mempunyai arti Tanggal 1 Muharram Tahun Alif akan jatuh pada hari Rebo (Rabu) pasaran Wage. Aboge adalah dasar perhitungan almanak (kalender) dalam satu windu atau delapan tahun, maka yang dimaksud Aboge adalah dasar suatu perhitungan. Penggunaan penanggalan dengan sistem Aboge mengakibatkan pelaksanaan ibadah puasa, perayaan Idhul Fitri, dan Idhul Adha yang dilaksanakan oleh komunitas Aboge selalu mengalami perbedaan  dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui sidang Itsbat.
Dialektika Agama dan Budaya dalam "Berkah" Nawu Sendang Selirang Waryono Abdul Ghafur
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.086 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.710

Abstract

This article discusses Sendang Selirang, a local culture in Kotagede, Yogyakarta, the existence of which is conserved to the present time. There is a tradition to clean the pool located in the former Mataram kingdom in Kota Gede. This tradition has different meaning among the three different groups of people: abangan, santri, and the intellectuals. This article starts from Clifford Geertz’s interpretative ethnography to understand cultural events existing in the society. This research found that among abangan community, Sendang Selirang is a ritual and ceremony which is performed with religious emotion and considered to be mystical. This meaning is different from that the group of santri, represented by Muhammadiyah. For some Muhammadiyah activists, this tradition is a part of superstition, bid’ah, and kurafat, so that it should be avoided. Meanwhile, for the intellectuals, it is not enough to view this tradition only from religious perspective. It should also be viewed from cultural perspective. This view functions as mediation for the other two groups of community that potentially arise conflicts. This research also found that the different views among the communities are influenced not only by the religious factor, but also other factors, such as equality in handling the ceremony and material benefit. However, the unity in diversity should be highlighted to create harmony among them. Artikel ini membahas tentang Sendang Selirang sebagai salah satu budaya lokal khas di Kotagede Yogyakarta yang sampai sekarang masih dilestarikan. Ada tradisi membersihkan kolam yang berada di bekas lingkungan Kerajaan Mataram awal di Kotagede. Tradisi tersebut dimaknai secara berbeda oleh tiga kelompok di Kotagede: abangan, santri, dan intelektual. Tulisan ini berangkat dari kerangka yang dibangun oleh Clifford Geertz dengan etnografi interpretatifnya untuk memahami suatu peristiwa budaya yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian ini menun  jukkan bahwa bagi masyarakat abangan, Sendang Selirang menjadi ritus dan upacara yang dilaksanakan dengan emosi keagamaan dan mempunyai sifat keramat. Pemaknaan tersebut ternyata berbeda bagi kelompok santri yang direpresentasikan dengan Muhammadiyah. Bagi beberapa aktivis Muhammadiyah, tradisi nawu sendang (Sendang Selirang) merupakan bagian dari tahayul, bid’ah, dan kurafat sehingga harus dihindari. Sementara bagi kelompok “cendekiawan”, peristiwa nawu sendang tidak cukup dipandang dari sisi agama, namun juga dari sisi budaya. Ini sebagai “jalan tengah” untuk menengahi dua kelompok sebelumnya yang berpotensi konflik. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan pandangan dari tiga kelompok tersebut dipengaruhi oleh bukan semata pandangan keagamaan masing-masing, tapi juga oleh faktor lain di luar agama, seperti pemerataan dalam penyelenggaraan dan keuntungan material. Kebersamaan dalam perbedaan tetap yang diutamakan, sehingga harmoni terus berjalan dengan baik.
Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton Membentuk Keluarga Sakinah Safrudin Aziz
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.448 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.724

Abstract

This article explains how to build a peaceful (sakinah) family in the Javanese wedding traditions and rituals of Surakarta and Yogyakarta Palaces. This theme is important because most of Javanese people do not understand the philosophical and ethical values of building a peaceful family as it is reflected in the traditions and rituals. Saki>nah, which means a peaceful family, is the final destination of a marriage as showed in Javanese marital traditions and rituals. The tradition of nontoni is a symbol of knowing each other (ta’aruf) between the bride and the groom. Installing tarub symbolizes the announcement of a marriage as well as a way to build closeness among the family, relatives, and neighbors to get the pray and bless for the couple. In addition, the tradition of sepasaran represents feeling of gratitude to God and other people due to the values of silaturahmi and sharing good luck after wedding ceremony. The steadiness in choosing a partner through deliberation, calculation, understanding of the similarities of character, vision and way of life of each pair is a provision for establishing harmonious family as contained in the symbolic message of Javanese wedding traditions and rituals. Tulisan ini mengungkap cara membangun keluarga sakinah dalam tradisi dan ritual pernikahan adat Jawa, Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Mayoritas orang Jawa tidak memahami nilai filosofis dan etis cara membangun keluarga sakinah sebagaimana tersirat dalam tradisi dan ritual pernikahan yang diselenggarakannya. Sakinah dalam arti keluarga yang tenang, damai dan tenteram merupakan tujuan akhir pernikahan sebagaimana terdapat dalam tradisi dan ritual pernikahan adat Jawa. Tradisi nontoni sebagai simbolisasi dari ta’aruf (saling mengenal) antara calon istri dengan calon suaminya. Pasang tarub sebagai sarana mengumumkan keberlangsungan sebuah pernikahan sekaligus media merekatkan tali  silaturrahmi dengan mengumpulkan kerabat dan tetangga guna memperoleh do’a, restu serta keberkahan bagi kedua mempelai. Begitu pula dengan tradisi sepasaran merupakan salah satu bentuk syukur terhadap Tuhan dan sesama manusia.Sebab tradisi sepasaran mengandung nilai silaturrahmi serta berbagi rizki setelah berakhirnya upacara pernikahan. Adapun memantapkan hati dalam memilih pasangan melalui pertimbangan, perhitungan, pemahaman terhadap kesamaan karakter, visi serta pandangan hidup setiap pasangan merupakan bekal membangun keluarga sakinah sebagaimana terdapat dalam pesan simbolik tradisi dan ritual pernikahan Jawa.

Filter by Year

2011 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 23 No. 2 (2025): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 23 No. 1 (2025): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 22 No. 2 (2024): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 22 No. 1 (2024): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 21 No. 2 (2023): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 21 No. 1 (2023): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 2 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 20 No 1 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 1 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 19 No 2 (2021): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 19 No 1 (2021): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 18 No 2 (2020): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 18 No 1 (2020): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 17 No 2 (2019): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 17 No 1 (2019): IBDA: Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 16 No 2 (2018): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 16 No 1 (2018): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 2 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 1 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 13 No 2 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 13 No. 1 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 13 No 1 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 12 No 2 (2014): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 12 No 1 (2014): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 11 No 2 (2013): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 11 No 1 (2013): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 10 No 2 (2012): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 10 No 1 (2012): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 9 No 2 (2011): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 9 No 1 (2011): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya More Issue