cover
Contact Name
Saifuddin Zuhri Qudsy
Contact Email
esensia.fusapuin@gmail.com
Phone
+6281804192371
Journal Mail Official
esensia.fusapuin@gmail.com
Editorial Address
Faculty of Ushuluddin dan Islamic Thought, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 698W+C49, Jalan Laksda Adi Sucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281.
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin
ISSN : 14113775     EISSN : 25484729     DOI : https://doi.org/10.14421/esensia
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin is a multidisciplinary journal that publishes articles of the highest quality and significance in all areas of Islamic theology (uṣūl al-dīn). The journal covers research on the immense significance of Islam in the context of religious life to which it has delivered unique perspectives, approaches, and ranges of contributions that are of abiding interest. ESENSIA encourages the exchange of ideas between experts, scholars, researchers, practitioners, clerics, and students who are active in all areas of Islamic theology and the multidisciplinary field. Research areas covered in the journal: 1. Comparative religions and socio-religious dynamics 2. Digital culture among Muslim cyber-communities 3. Islamic philosophy and mysticism 4. Islamic-theological literature and literary criticism 5. Islamism, communal discernment, and indigenous spiritual practices 6. Muslim minorities and religious citizenship ESENSIA offers authors and readers high visibility, broader readership, clear copyediting, rigorous peer-review, and independence from competing interests. In addition to research articles, ESENSIA also covers research in the form of fieldwork investigations or ongoing reports. In this way, the journal aims to be the voice of the worldwide Islamic-theological community.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 19 No. 1 (2018)" : 8 Documents clear
Religious Inclusivism In Indonesia: Study of Pesantren An-Nida and Edi Mancoro, Salatiga, Central Java Masroer Masroer
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1485

Abstract

This abstract is the result of research intended to elaborate the students’ religious inclusiveness in the Nida and Edi Islamic boarding schools (Pesantren) of Salatiga, Central Java. In its descriptive analysis, this paper will try to elaborate a phenomenon or social unit of religious life in boarding schools in which some research instruments such as participant observation, open interviews and unstructured questionnaires are used. The results showed that: , there was a shift from the structured theoretical foundation both in Islamic boarding schools of Edi Mancoro and An Nida, an overview of students’ religious inclusiveness appearing in the form of culture, namely: cultural preservation to cultural transformation. The cultural forms emerge because the existence and function of religion (Islam) transforms into the culture while religion is analysed from the perspective of the local culture. The cultural and transformative inclusiveness is generated by the particularity of students’ religious and educational traditions although they maintained but they have also experienced changes; and openness to adapt and impart through a transformative social process. This transformation causes the emergence of collectively cultural values agreed and implemented together, thus they are universal. The students’ tradition preservation is determined by two mutually linked variables namely: 1) kiais as guardians of tradition, and 2) curriculum that maintains the teaching of classic book (Kitab Kuning (yellow book) as a buffer tradition. While the changes of tradition are also influenced by two variables, namely 1) social interaction with the surrounding local culture of the boarding schools, and 2) the students’ communication patterns with their external plural environment. , the students’ preseved and changing traditions prodused a unique religious authority . In the Pesantren An Nida, religious authority was manifested from the supermacy of fiqh (Islamic jurisprudence) enlightened by ijtihad (rational reasoning). There is a reciprocal relationship between fiqh and ijtihad, so that the dynamic verbal nature of fiqh will appear. The rational values in ijtihad was then strengthened — along with external changes — and accepted by the students’ perspective of jurisprudence. In the Pesantren Mancoro Edi, the research result showed that students’s complied religious authority was caused by the supermacy of dynamic fiqh enlightened by Sufism. The mystical value in Sufism also tends to be stronger — along with their contextual adaptation-- thus affecting the students’ fiqh perspective. Unfortunately, the religious authorities seem to have paradoxical values because of their closeness to religious symbols outside their religion. It is therefore recommended that: a) to the students, they are supposed not to understand religion as a set of symbols, but a system of value, and if not, b) other religions are then welcomed into the local culture.[Artikel ini disusun dengan tujuan untuk memperoleh gambaran detil bagaimana inklusivitas keagamaan santri di Indonesia, khususnya di pondok pesantren An Nida dan Edi Mancoro Salatiga, Jawa Tengah. Dengan menggunakan analisis deskiptif interpretatif; yakni menggambarkan suatu fenomena yang ditafsirkan atau unit sosial tentang kehidupan keagamaan di pesantren, dan penggunaan instrumen riset berupa observasi partisipasi, wawancara terbuka dan angket tidak berstruktur. Artikel ini menjelaskan bahwa; pertama, terjadi pergeseran dari landasan teoritis yang disusun, baik di pesantren An Nida maupun Edi Mancoro, gambaran umum inklusivitas keagamaan santri yang muncul berbentuk budaya, yaitu dari kelestarian ke transformasi kultural. Bentuk budaya muncul karena eksistensi dan fungsi agama (Islam) itu masuk ke dalam kebudayaan; agama dilihat dari perspektif kebudayaan lokal. Inklusivitas yang bersifat transformasi kultural ini dihasilkan oleh partikularitas tradisi pendidikan keagamaan santri yang meskipun dipertahankan tetapi ia juga mengalami perubahan; keterbukaan untuk menerima dan memberi lewat proses sosial yang bersifat transformatif. Transformasi ini menciptakan nilai-nilai kultural yang disepakati dan diberlakukan bersama, dengan demikian bersifat universal. Kelestarian tradisi santri ditentukan oleh dua variabel yang saling berhubungan, yakni: 1) kiai sebagai penjaga tradisi, dan 2) kurikulum yang mempertahankan pengajaran kitab kuning (klasik) sebagai penyangga tradisi. Sementera perubahan tradisi dipengaruhi oleh dua variabel pula, yaitu 1) interaksi dengan sosial budaya lokal di mana pesantren itu berdiri, dan 2) pola komunikasi santri dengan lingkungan eksternal yang plural. Kedua, tradisi santri yang dipertahankan sekaligus mengalami perubahan itu menghasilkan otoritas keagamaan yang unik. Di pesantren An Nida, otoritas keagamaan itu terwujud dari supremasi fikih yang dicerahkan oleh ijtihad. Ada hubungan timbal balik antara fikih dengan ijtihad, sehingga watak verbalistik fikih mengalami dinamisasi. Nilai rasionalitas dalam ijtihad menguat –sejalan dengan perubahan di luaran- dan diterima menjadi cara pandang santri terhadap fikih. Di pesantren Edi Mancoro, memperlihatkan bahwa otoritas keagamaan yang dipatuhi santri terwujud dari supremasi fikih yang mengalami dinamisasi akibat tercerahkan oleh tasawuf. Nilai mistisisme yang terdapat di dalam tasawuf kemudian menguat pula –seiring dengan penyesuaiannya terhadap kontek- sehingga mempengaruhi cara pandang santri terhadap fikih. Tetapi otoritas keagamaan tersebut mengalami paradok karena ketertutupannya dengan simbol agama di luar santri. Oleh karena itu disarankan; a) kepada santri supaya tidak lagi memandang agama sebagai seperangkat simbol, tetapi sistim nilai, dan jika tidak, b) bagi agama lain agar dapat masuk ke dalam kebudayaan lokal setempat.]
al-Mu'amalah ma'a al-Bi'ah fi Manzur al-Qur'an al-Karim: Dirasat al-Tafsir al-Mawdu'i al-Siyaqi: [Economics and Enviromentalism in Quranic Worldview: A Thematic-Contextual Exegesis] Abdul Mustaqim
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1486

Abstract

Krisis lingkungan merupakan salah satu isu aktual yang perlu mendapat perhatian serius, bukan saja dari para ilmuan, tetapi juga para agamawan,  karena kerusakan alam telah sedemikian menggurita dan diperlukan “agama baru” yang memiliki konsern terhadap problem lingkungan. Untuk itu, Al-Qur’an sebagai sumber etik tertinggi bagi umat Islam perlu dikaji secara komprehensif untuk menemukan prinsip-prinsip etik dalam berinteraksi dengan lingkungan. Membiarkan lingkungan alam rusak, tanpa upaya untuk memeliharanya, sama artinya dengan menandatangi kontrak bagi kehancuran alam dan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan pendekatan tafsir tematik-kontekstual, setidaknya ditemukan beberapa kesimpulan bahwa interaksi manusia dengan lingkungan secara baik merupakan bagian dari pengamalan agama. Barangsiapa yang akidahnya benar, maka akan benar pula dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ini karena, dalam pandangan al-Qur’an, lingkungan setidaknya merupakan sign of God (âyat Allah (tanda kekuasaan dan eksistensi Tuhan). Setidaknya lingkungan alam memiliki tiga ciri khas yaitu, fungsional, dialektik, dan estetis dalam kehidupan manusia. Hal itu meniscayakan pentingya memegang  teguh prinsip-prinsip etik  dalam berinteraksi dengan lingkungan alam, yaitu: 1) tidak melakukan kerusakan, 2) berlaku adil, 3) berbuat ihsan dan 4) seimbang dan tidak eskploitatif  dalam menggunakan sumber daya alam.
Shalat Tarawih Juziyyah in Madrasah Huffadz: Community of Memorizers of Quran, Identity Politics, and Religious Authority Waffada Arief Najiyya
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1487

Abstract

This article delves the reception of the Quran in Indonesia. This article, phenomenologically speaking, explores the tradition of tarawih juziyyah (the tarawih with completion of Quranic recitation) during Ramadan in Pondok Pesantren Madrasah Huffadz Krapyak Yogyakarta. This paper focuses on hierarchy of meanings emerging from the research subjects involved in the tradition. In addition to that, this research elaborates the transmission and transformation of the Quran taking place in ritual and non-ritual dimension of the tradition. Furthermore, it seeks out the hegemony and identity negotiation being hidden in the tarawih. Concluding the research, I argue that the tarawih juziyyah encapsulates two phenomena (prayer and khataman) in one tradition and thus proves that the Quran holds sufficient power with which its memorizer gain, after sorts of politicization, highly prestigious status among muslims community.[Penelitian ini membahas tentang bentuk tradisi resepsi al-quran di Indonesia. Penelitian ini secara fenomenologis akan mengeksplor praktek shalat tarawih juziyyah (shalat tarawih dengan membaca satu setengah juz dari al-quran setip malamnya) pada bulan ramadlan di Pondok Pesantren Madrasah Huffadz Krapyak Yogyakarta. Fokus penelitian ini terletak pada hierarki makna yang muncul dari para subjek penelitian terkait dengan tradisi shalat tarawih juziyyah tersebut. Selain itu, penelitian ini melihat bentuk transmisi dan transformasi pengetahuan yang terjadi, menunjukkan adanya dimensi ritual dan non-ritual dalam praktek itu, serta menjelaskan adanya hegemoni dan negosiasi identitas yang muncul dari tradisi shalat tarawih juziyyah tersebut. Salat tarawih juziyah, yang mengapsulkan dua fenomena dalam satu praktek, menjadi bukti bahwa al-Qur ’an memiliki kuasa yang cukup besar untuk dipolitisasi sedemikian rupa sehingga penghafalnya mendapatkan status sangat prestis di kalangan masyarakat muslim.]
Syaikh Abdul Latief Syakur’s View on Moral Values in Tafsīr Surah Al-Mukminūn Ridhoul Wahidi; Muslich Shabir; Akhmad Arif Junaidi
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1488

Abstract

Akhlak (morals) is a very important part in human life, without which men will not reach the degree of a noble man. On contrary, human beings having good akhlak can distinguish between good and bad deeds to become a noble man. The issue of morality is currently experiencing acute decadence that must be quickly overcome by various circles. One of the ways is through learning the thinking of earlier muslims scholars. One of the earlier Islamic scholars is Syaikh Abdul Latief Syakur, one of the local ulamas in Minangkabau, whose academic background had a direct contact with the dynamics of Middle Eastern scholarship,and who contributed a lot of thoughts to uplift the dignity of the nation through morals. As a scholar, Syaikh Abdul Latief Syakur presented and describedseveral moral values to overcome the present moral decadence through his thoughts set forth in his work Tafsīr Surah al-Mukminūn. The application of moral values in this tafsir work contributes to the present moment by applying the values of the spirit of khusyu and khuḍhu’ which illustrates the humility and tepo seliro (tolerance) which are transcendent. Not only on its transcendent and cognitive aspects, but also on the other dimensions of humanity thoroughly and striving in winning nature (fitrah) and logics against lust.[Akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa akhlak manusia tidak akan memiliki derajat sebagai manusia mulia, sebaliknya manusia yang berakhlak dapat membedakan antara perbuatan baik dan buruk sehingga menjadi manusia mulia. Persoalan akhlak saat ini mengalami dekadensi akut yang harus cepat diatasi oleh berbagai kalangan. Salah satunya adalah melalui pemikiran ulama-ulama terdahulu. Salah satu ulama yang dimaksud adalah Syaikh Abdul Latief Syakur, salah seorang ulama lokal dari Minangkabau, dimana sisi akademisnya bersentuhan langsung dengan dinamika keilmuan Timur Tengah yang tidak sedikit memberikan warna pemikiran dalam mengangkat harkat martabat bangsa melalui akhlak. Sebagai seorang ulama, Syaikh Abdul Latief Syakur menghadirkan dan menguraikan nilai-nilai akhlak dalam mengatasi dekadensi akhlak masa kini melalui pemikiran yang dituangkan dalam tafsīr surat al- Mukminūn. Penerapan nilai-nilai akhlak dalam tafsir ini memberikan kontribusi kekinian dengan cara menerapkan nilai spirit-spirit khusyu dan khuḍhu’ yang menggambarkan kerendahan hati dan tepo seliro, dimana dari dua unsur tersebut bersifat transenden. Tidak saja yang transenden dan kognitif, tetapi lebih jauh pada dimensi kemanusiaan lainnya secara menyeluruh dan mengupayakan dalam memenangkan fitrah dan akal terhadap hawa nafsu.]
Hegemony of Involvement of Tafsir in Political Identity Saifuddin Herlambang; Syamsul Kurniawan
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1489

Abstract

Tafsir is a process of text transmission that is inseparable from the ideological and theoretical framework as well as the influence of socio-political conditions and intellectual traditions of interpreters in which the interests will always be present in all the transmission process. This research focuses on the clarity of interpretation in identity politics, which departs from the writer’s anxiety about the phenomena of dragging tafsir in identity politics, as well as the prevalent trends occurring today in Indonesian politics as in the context of the Jakarta Local Election where the QS al-Maidah (5) verse 51 is not only a debatable issue but had also dragged the legitimacy of whether or not to vote for non-Muslim leaders. This research is a qualitative study with descriptive approach, which is hermeneutically analyzed.[Tafsir merupakan proses transmisi teks yang tak terlepas dari kerangka teoretis ideologis dan pengaruh kondisi sosial politik serta tradisi intelektual penafsir di mana kepentingan akan selalu hadir dalam semua proses transmisi tersebut. Fokus kajian ini adalah tentang keterseratan tafsir dalam politik identitas, yang berangkat dari kegelisahan penulis tentang fenomena keterseretan tafsir dalam politik identitas, sebagaimana kecenderungan yang marak terjadi dewasa ini dalam perpolitikan di Indonesia. Seperti, pada konteks Pilkada DKI Jakarta di mana ayat pada QS al-Maidah (5) ayat 51 tidak hanya menjadi modal perdebatan tetapi juga diseret-seret dalam legitimasi tentang boleh atau tidaknya memilih pemimpin yang non muslim.  Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yang dianalisis secara hermeneutika.]
The Construction of Terror Communicating of ISIS News In Social Media Ellys Lestari Pambayun
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1490

Abstract

Global era with its advanced technology has provided small terrorist groups a powerful instrument—social media which is intentionally or unintentionally used to serve their interest. As believed, the terrorist does their action by giving significant impact to publicity. As a terrorist organization, ISIS realized the potentials of social media-oriented terror, in terms of its effectiveness in reaching huge audiences. The spread of the ideology, which is called jihadi virus, is limited in the physical world, however it is possible to spread within social media regardless of time and space. Discursive framework method in constructivism paradigm has led to a conclusion that reality constructed in social media such as twitter, facebook, whatsApp, BBM, path, and other applications are carefully planned in a form of disinformation tactics (propaganda), economic pressure, socio-cultural, and ideology. The impact of social media reveals interesting results that ISIS has formed symbolizations and image changes and raised attention towards the issue. In communication terrorism Joseph Turman’s approach, as one of constructionist approach, it analyzed that ISIS actions are rhetorical actions (such what messages are conveyed, whether it is a persuasive meaning and symbols that appear; acts of terrorism that is produced and delivered to the wider world; elements of rhetoric including labels, definitions, and symbolism in terrorism; public orator about terrorism; and the relationship between terror and the media), in both written and spoken language, there is always possibility for manipulation and receptive communication.[Era global dengan perkembangan teknologinya seakan telah memberi kelompok teroris suatu instrumen yang kuat- media sosial secara sengaja atau pun tidak sengaja untuk melayani hasrat mereka. Bahkan diyakini lebih dari itu, tindakan teroris sendiri tidak akan berdampak bila tidak terpublikasi secara luas. Organisasi teroris ISIS sangat menyadari potensi media sosial sebagai sarana yang dapat diorientasikan pada aksi-aksi teror mereka, dengan kata lain secara efektif untuk meraih audiens yang besar. Media sosial seperti tweeter, facebook, whatsapp, BBM, path, ipad, dan aplikasi jaringan lainnya tampaknya memang mampu mempromosikan perbuatan-perbuatan mereka secara efektif. Dampak lintas media sosial mengungkapkan hasilnya bahwa ISIS mampu memainkan simbolisasi dan citra dan meningkatkan tensi kepentingan pada isu-isu seputar mereka. Melalui “teori Communicating Terorrism” yang dilahirkan Joseph Turman (2010) menjelaskan bahwa aksi-aksi ISIS bisa dikatakan lebih dari tindakan retorika (sebagai suatu simbol-simbol dan pesan-pesan), yang mereka tuliskan dan ungkapkan melalui bahasa yang penuh makna, yang berpotensi selalu manipulatif dan komunikasi yang reseptif. Penyebaran ideologi, sebagai apa yang kita sebut sebagai virus jihad, yang terbatas pada dunia nyata, tapi melalui media sosial isa menjadi keluarga dan teman tanpa batas ruang dan waktu, membantu memperluas landasan dan percepatan radikalisasi dan perekrutan angota teroris.]
Building Harmony Through Religious Counseling (The Religious Harmony Portrait in North Mamuju) Muhammad Dachlan; Nur Laili Noviani; Mustolehudin Mustolehudin
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1491

Abstract

The religious counselor in North Mamuju has a significant role in building harmony in their area. The religious harmony in North Mamuju can be said quite harmonious. We knew this condition by looking at the indication of the religious counselor’s role on guiding and counseling the society. Through qualitative study, this research found some results. First, the moderate counseling model by moslem counselor is proven to improve religious harmony in society. Second, the affection method in Christian doctrine is proven can wreathe the Christian people in develop themselves naturally around moslem society. While in Hindu, the Tri Hita Kirana is used as a model to build religious harmony. The Tri Hita Kirana consists of the concept of relationship with God, with human, and also nature. Through those three model, the religious harmony can be achieved by emphasizing the believing-other attitude also respect and appreciate each other in social and nation life.[Penyuluh agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam membangun harmoni di masyarakat memiliki peran penting. Melalui penelitian kualitaif di Kabupaten Mamuju Utara, diperoleh tiga temuan sebagai berikut. Pertama, model penyuluhan secara moderat oleh penyuluh agama Islam, terbukti dapat meningkatkan kerukunan di masyarakat. Kedua, metode kasih dalam ajaran Kristen, mampu menjalin umat kristiani mengembangkan diri di tengah masyarakat muslim secara wajar. Sedangkan dalam agama Hindu, model untuk membangun kerukunan adalah dengan melaksanakan Tri Hita Kirana, yakni hubungan kepada Tuhan, manusia, dan alam. Melalui ketiga model tersebut, kerukunan akan dapat tercapai jika antarumat beragama mengedepankan sikap saling percaya, saling menghormati, dan saling menghargai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.]
The Relation of Animism and Diversity in Pinrang District (A Theological Study of Bulu’ Nene’) Muliati Muliati
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 19 No. 1 (2018)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v19i1.1492

Abstract

This paper discusses The Relation of Animism and Diversity in Pinrang Society (Theological Study on the Bulu’ Nene’). This study aims at unfolding the relation of animistic belief of Bulu’ Nene’ in Pinrang society. The type of this research is field research which is descriptive qualitative in character and using several approaches such as juridical, theological normative, sociological, and historical approach. The data collection techniques are observation, interview, documentation, and triangulation. This research found several things: Firstly, the Bulu’ Nene’ animistic belief in Pinrang society greatly influences their life. They believe that it is one of the reasonable places to pray to God since Bulu’ Nene’ was a saint and his prayers were accepted by God during his lifetime. Secondly, Islam’s view of Bulu’ Nene’ in Pinrang put it as an imaginary belief. Islam does not justify it because it was categorized as believing in more than one God (shirik) and the person who does that is called a polytheist. Thirdly, strategies and approaches in handling the Bulu’ Nene’ in Pinrang society is by giving direction to the visitors through recitation, reproducing dhikr more and explaining that what they did is very contrary to the teachings of Islam and may result in becoming polytheists.[Artikel ini membahas seputar Relasi Pemahaman Kepercayaan Animisme Terhadap Keberagaman Masyarakat Kabupaten Pinrang (Suatu Kajian Teologi Terhadap Bulu’ Nene’). Tujuannya adalah untuk mengetahui Relasi Pemahaman kepercayaan Animisme masyarakat Kabupaten Pinrang terhadap Bulu’ Nene’. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field research) yang bersifat deskriptif kualitatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis, teologis normatif, sosiologis, dan sejarah. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara/interview, dokumentasi, dan trianggulasi. Hasil penelitian yang ditemukan: Pertama, Bentuk kepercayaan animisme Bulu’ Nene’ masyarakat di Kabupaten Pinrang sangat besar pengaruhnya terhadap hidup masyarakat, karena didalamnya mengandung suatu keyakinan bahwa dia adalah salah satu tempat yang wajar ditempati untuk memohon doa kepada Tuhan karena beliau adalah suci dan makbul doanya semasa hidupnya. Kedua, Tinjauan Islam terhadap kepercayaan animisme Bulu’ Nene’ masyarakat Kabupaten Pinrang, adalah suatu kepercayaan hayal belaka. Islam tidak membenarkannya, sebab hal itu termasuk syirik (menyekutukan Allah swt), orang yang menjalankannya disebut musyrik. Ketiga, Strategi dan pendekatan dalam penanggulangan kepercayaan animisme Bulu’ Nene’ Masyarakat Kabupaten Pinrang yaitu memberikan pengarahan kepada pengunjung lewat pengajian, memperbanyak berzikir dan menjelaskan  bahwa apa yang dilakukannya sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa mengakibatkan menjadi musyrik.]

Page 1 of 1 | Total Record : 8