cover
Contact Name
Ramadhita
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
dejure@uin-malang.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
DE JURE
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
de Jure adalah jurnal yang mengkaji permasalahan syariah dan hukum baik hasil penelitian atau artikel telaah. Terbit dua kali dalam setahun pada bulan Mei dan November. de Jure diterbitkan oleh unit Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penyunting menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 2: Desember 2016" : 5 Documents clear
Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Perspektif Hukum Islam Santoso, Lukman; Arifin, Bustanul
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 8, No 2: Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (870.271 KB) | DOI: 10.18860/j-fsh.v8i2.3732

Abstract

The issue of violence against wife physically and psychologically, today more frequent in the community. The factual reality shows that domestic violence against wife is a phenomenon that sometimes considered to be prevalent in society. The common assumption must not be separated from social construction in the society that the husband is the head of the family and has full authority to the family members, including his wife. In that context, this study attempts to analyze how the concept of the women protection as victims of domestic violence in Islamic law. In the context of the protection of women in the household, the texts of the Quran give many answers that require embodiment household with ma'ruf relationship in the sense of equal, fair and democratic. It is confirmed that Islamic law carries a mission ofprotection, which is a mercy for all human beings on earth. It also harmonized with applicable laws protecting women in Indonesia today.Persoalan kekerasan terhadap istri secara fisik maupun psikis, dewasa ini semakin sering terjadi di masyarakat. Realita tersebut secara faktual menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, merupakan suatu fenomena yang terkadang dianggap lazim di lingkungan masyarakat. Anggapan lazim ini tentunya tidak terlepas dari konstruksi sosial yang berkembang di tengah masyarakat bahwa suami adalah kepala keluarga dan memiliki otoritas penuh terhadap anggota keluarga termasuk isteri. Dalam konteks itu kajian ini berupaya mengupas tentang bagaimana konsep perlindungan terhadap perempuan korban KDRT dalam hukum Islam. Dalam konteks perlindungan perempuan dalam rumah tangga,teks-teks al-Qur’an memberikan banyak jawaban yang mengharuskan perwujudan hubungan rumah tangga secara ma’ruf dalam arti setara, adil dan demokratis. Hal ini menegaskan bahwa hukum Islam membawa misi perlindungan, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi. Hal ini juga diharmonisasikan dengan hukum perlindungan perempuan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Melacak Ideal Moral dalam Hadis La Yakhtubu al-Rajulu ‘Ala Khitbati Akhihi: Sebuah Telaah Ilmu Hadis Salam, Nor
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 8, No 2: Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (632.081 KB) | DOI: 10.18860/j-fsh.v8i2.3734

Abstract

Hadith (the Prophet tradition) is the source of law which occupies a central position after the Quran which serves as explanatory of the contents of the Quran. However, if the Quran has been ascertained to be qat'i both sides wurud or tsubutnya, not the case with a Hadith that still raises various problems both in the assessment of the sanad authenticity and the contains. Thus, it is not all hadith have authentic quality both the sanad nor the matan, so it is needed to do research. Another issue is no less complex in order to "unearth" the values contained in a hadith tradition of honor in the present context as the traditions in the realm ahwal syakhsiyah one of them is the hadith about khitbah. In this study, the hadith about khitbah narrated by Imam Abu Daud derived from lines Ahmad ibn Amr ibn Sarh witheditorial worth is valid both in terms of sanad and matannya, while its values ranged at the level of the juridical and ethical. In the juridical level, the hadith indicates the prohibition of making a proposal to the proposal of others, whereas the level of ethics or mysticism, the tradition is more referring to the creation of a harmonious life.Hadis nabi adalah sumber hukum yang menempati posisi sentral setelah al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas terhadap kandungan al-Quran. Namun demikian, jika al-Quran sudah dipastikan bersifat qat’i baik dari sisi wurud maupun tsubutnya, tidak demikian halnya dengan hadis nabi yang masih menimbulkan aneka persolan baik dalam penilain terhadap otentisitas sanad maupun matannya. Dengan demikian, maka tidaklah semua hadis yang disandarkan kepada nabi berkualitas sahih dari sisi sanad maupun matannya sehingga diperlukan adanya penelitian. Persoalan lain yang tidak kalah rumitnya adalah dalam rangka “membumikan” nilai-nilai yang dikandung dalam sebuah matan hadis dalam konteks kekinian seperti hadis-hadis dalam ranah ahwal syakhsiyah termasuk salah satunya adalah hadis tentang khitbah. Dalam penelitian ini, hadis tentang khitbah yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud yang berasal dari jalur Ahmad bin Amr bin Sarh dengan redaksi bernilai sahih baik dari sisi sanad maupun matannya, sedangkan nilai yang dikandungnya berkisar pada tataran yuridis dan etika. Dalam tataran yuridis, hadis tersebut menunjukkan larangan terjadinya peminangan terhadap pinangan orang lain, sedangkan dalam tataran etika atau tasawuf, hadis tersebut lebih mengacu pada terciptanya kehidupan yang harmonis.
Tinjauan Hak Asasi Manusia tentang Izin Isteri Sebagai Syarat Poligami dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Ulfiyati, Nur Shofa
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 8, No 2: Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (624.661 KB) | DOI: 10.18860/j-fsh.v8i2.3746

Abstract

Polygamy is still problematic issue both in academic and practicing area. The permission of wife as requirement for polygamy in Law No. 1 of 1974 about Marriage is not in the women right side, because it is impossible for the wife to give polygamy permission to the husband. The permission of wife as requirement for polygamy that decided in Law No. 1 of 1974 about Marriage, in fact is not the prime requirement to get polygamy permission from the Court, but the prime is the ability to do justice between wives. The permission from wife is ignore if: a) the wives are impossible to be asked the permission; b) the wife is not as the party in appointment; c) there is no news about wife minimally two years; or other factors which is marked by court Judges.Poligami masih menjadi polemik baik dikalangan akademisi maupun praktisi. Izin isteri sebagai syarat poligami dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada dasarnya masih belum berpihak pada Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya hak asasi perempuan dan mengangkat martabat perempuan, hampir mustahil ada istri yangmengijinkan suami poligami. Adanya izin isteri sebagai syarat poligami dalam UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini dalam pandangan hak asasi manusia masih belum menjadi satu-satunya syarat utama yang dapat menentukan dalam permohonan izin poligami di pengadilan, akan tetapi yang paling utama adalah mampu berbuat adil. Syarat izin isteri tidak berlaku bagi suami untuk melakukan poligami apabila (a) isteri-isterinya tidak dimungkin dimintai izin (persetujuan); (b) tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian dan;(c) tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kuranya 2 (dua) tahun atau karena sebabsebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Keadilan Bagi Anak Luar Kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Farahi, Ahmad; Ramadhita, Ramadhita
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 8, No 2: Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (665.114 KB) | DOI: 10.18860/j-fsh.v8i2.3778

Abstract

This article intents to examine the civil rights of children outside of married arising from Constitutional Court Decision No. 46 / PUU-VIII / 2010 review by justice aspects. This article is normative juridical research with a qualitative approach to the primary legal materials, namely Law No. 1 of 1974 on Marriage and the constitutional Court Decision No.46 / PUU-VIII / 2010. While the secondary legal materials such as books, journals, research related to children outside of married. Before the decision of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 was issued, children outside of marriage do not get the personal law rights, both the principles of Islamic justice and the West, as well as human rights perspective. After the emergence of Constitutional Court Decision No. 46 / PUU-VIII / 2010, children outside married have the same status as a legitimate child, with the requirement to have medical evidence.Artikel ini bertujuan mengkaji hak-hak keperdataan anak luar kawin yang muncul akibat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari aspek keadilan. Artikel ini merupkan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dengan bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, penelitian terkait anak luar kawin. Sebelum putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dikeluarkan, anak luar kawin tidak mendapatkan hak-hak keperdataannya secara adil. Baik menurut prinsip keadilan Islam, Barat, maupun perspektif HAM. Pasca munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah, dengan syarat memiliki bukti medis.
Hukum Keluarga dalam Perspektif Perlindungan Anak Musfiroh, Mayadina Rohmi
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 8, No 2: Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (956.265 KB) | DOI: 10.18860/j-fsh.v8i2.3731

Abstract

This article points to trace the epistemological roots of early marriage to and reinforce the importance of Islamic Family law reform, particularly related to raising the minimum age of marriage. This article is the result of the research literature with a qualitative descriptive method using a theoretical approach maqashid al-sharia. Early marriage is the result of interpretation of scholars' to Q.S. Ath-Thalaq [65]: 4 which signaled the waiting period for those who do not menstruate. Islam does not provide ideal age limits in marriage. Marriages can be performed by the bride that has been not or already baligh if it has been qualified to do harmonious marriage. However, the scholars' proposed the opinions about puberty age limit for men and women and the permissibility of marrying someone in the age of the children. The decision to give an age limit in marriage for arising maslahah. Marriage age limit should be revised in view of the negative impacts arising from the early marriage models, such as women's reproductive health issues, financial problems of the family and divorce. Model of early marriage can no longer practiced because it is inconsistent with maqashid al-nikah that is to build a harmonious family.Artikel ini bertujuan melacak akar epistimologis perkawinan dini serta menguatkan argumentasi pentingnya pembaharuan hukum keluarga Islam, khususnya terkait menaikkanbatas minimal usia perkawinan. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif-kualitatif dan menggunakan pendekatan teori maqashid al-syariah. Perkawinan dini merupakan hasil tafsir ulama’ terhadap Q.S. Ath-Thalaq [65]: 4 yang mengisyaratkan iddah bagi mereka yang belum haid. Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikahan. Perkawinan dapat dilakukan oleh calon mempelai yang belum atau sudah baligh jika telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Meskipun demikian, para ulama’ berbeda pendapat tentang batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan dan kebolehan menikahkan seseorang pada usia anak-anak. Umat Islam diperbolehkan memberikan batasan usia dalam perkawinan untuk menimbulkan kemaslahatan. Batas usia pernikahan perlu direvisi mengingat berbagai dampak negatif yang muncul akibat model pernikahan ini, misalnya masalah kesehatan reproduksi perempuan, persoalan ekonomi keluarga, hingga perceraian. Model perkawinan ini tidak dapat lagi dipraktikkan karena tidak sejalan dengan maqashid al-nikah yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Page 1 of 1 | Total Record : 5