cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Buletin Iptek Tanaman Pangan
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010" : 8 Documents clear
Prospek Sesbania rostrata sebagai Pupuk Hijau pada Padi Sawah Endang Suhartatik
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pupuk hijau merupakan pupuk organik yang berasal dari tanaman, dibenamkan ke tanah sewaktu masih hijau atau setelah dikomposkan, diutamakan dari jenis legum karena mengandung N relatif tinggi. Sesbania mempunyai kemampuan untuk tumbuh di lahan masam, lahan salin, dan dalam kondisi tergenang maupun kering. Sesbania rostrata termasuk tanaman kacang-kacangan yang mampu membentuk bintil akar dan bintil pada batang, bersimbiosis dengan Azorhizobium caulinodans yang dapat menambat N dari udara, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Kontribusi N asal bintil batang dari tanaman berumur 8 minggu adalah sekitar 23% dari total fiksasi N tanaman. Biomas yang dihasilkan cukup tinggi, ditentukan oleh populasi tanaman, umur tanaman saat panen, dan jenis tanah. Jumlah N yang diikat oleh S. rostrata pada populasi 500.000 tanaman/ha, pada umur 55 hari adalah 240 kg N/ha pada musim kemarau dan 286 kg N/ha pada musim hujan. Pada umur 13 minggu, biomas kering yang dihasilkan 17 t/ha yang mengandung 426 kg N/ha. Kulit biji S. rostrata tebal dan keras sehingga sukar berkecambah. Perendaman dengan asam sulfat pekat (96%), air mendidih atau penggosokan biji dengan ampelas efektif memecahkan dormansi biji S. rostrata. Tanaman S. rostrata agak toleran terhadap pH rendah, Al tinggi, kekeringan, kadar garam tinggi, dan genangan. Pada daerah dengan pola tanam yang intensif, S. rostrata dapat ditumpangsarikan dengan padi sawah sampai umur 35-45 hari, dan meningkatkan hasil gabah 8-23% di tanah Hidromorf Kelabu. Serapan N berasal dari pupuk oleh S. rostrata (umur 56 hari) yang ditanam secara tumpangsari adalah 25% pada pemberian 60 kg N/ha dan 32% pada pemberian 120 kg N/ha. Penyisipan S. rostrata pada tanaman padi dapat mengurangi kehilangan N dengan cara mengefisienkan penggunaan pupuk N dan menjadi sumber hara N yang bersifat komplementer terhadap pupuk N organik.
Integritas Kelembagaan Petani Gapoktan dan P3A Sri Wahyuni
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peraturan pemerintah No 38 tahun 2007 yang menetapkan bahwa Departemen Pertanian di samping bertanggung jawab terhadap pembinaan kelompok tani/Gapoktan juga terhadap P3A (semula menjadi tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum, PU), mulai berlaku pada tahun 2009. Anggota Gapoktan dan P3A adalah individu yang sama, dengan lingkungan alam dan sosial ekonomi yang sama. Maka mengintegrasikan kedua kelembagaan tersebut menjadi “Kelembagaan Kesejahteraan Petani” akan lebih efektif dan bermanfaat. Kelembagaan mencakup aspek “keorganisasian” dan “kelembagaan”. Teori pembangunan masyarakat “struktural fungsional” menekankan kedua aspek tersebut harus bekerjasama dengan baik sebagai suatu sistem. Kelembagaan Gapoktan yang memiliki multi peran tepat sebagai kelembagaan integrasi, dengan minimal lima subdivisi/seksi yaitu keuangan/ekonomi, pengadaan saprotan, pemasaran, teknologi plus menejemen ketersediaan air dalam struktur keorganisasian. Substansi “aspek kelembagaan” disarikan dari kelembagaan yang sukses, yang dimulai dari pemimpin yang mempunyai kepemimpinan yang kuat dan berorientasi bisnis.
Sistem Integrasi Padi-Sapi Potong di Lahan Sawah Ruli Basuni; Muladno Muladno; Cecep Kusmana; Suryahadi Suryahadi
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sistem integrasi padi-ternak merupakan salah satu upaya meningkatkan pendapatan petani, melalui peningkatan produksi padi yang diintegrasikan secara sinergis dengan pemeliharaan ternak sapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan usahatani sapi yang diintegrasikan dengan tanaman padi berbasis inovasi teknologi terhadap pendapatan petani. Pola integrasinya adalah memanfaatkan jerami padi untuk pakan sapi dan kotoran sapi untuk pupuk tanaman. Paket teknologi yang diintroduksikan yaitu: budi daya padi anjuran, penggemukan sapi, pengolahan kotoran ternak untuk pupuk organik, dan jerami fermentasi untuk pakan. Materi yang digunakan yaitu sapi dan luasan padi sawah 5 ha. Petani dibedakan atas 2 kelompok yaitu 20 petani peserta pola integrasi dan 10 petani reguler (tradisional). Dari penelitian dihasilkan kenaikkan produksi menjadi 5,34 t/ha GKG, meningkat 16% dibandingkan pola petani tradisional, yang hanya 4,60 t/ha GKG. Penggunaan pupuk urea menurun menjadi 100 kg/ha (71%), pupuk SP36 menurun 50 kg/ha (50%) dan KCl menjadi 50 kg/ha (50%). Tambahan bobot hidup sapi rata-rata 0,89 kg/ekor/hari dan C/N ratio jerami yang dikomposkan 19%. Pendapatan usahatani integrasi padi per hektar dan 2 ekor sapi mencapai Rp 9.417.907 dengan R/C ratio 1,61. Pupuk organik yang dihasilkan rata-rata 5 kg/ekor/hari serta jerami padi 13 t/ha/musim, C/N ratio pupuk organik 19%. Kontribusi tambahan penerimaan dari fine compost selama setahun sebesar 9,7% dari total pendapatan usahatani. Pendapatan dari usahatani padi (5 ha) dan sapi (20 ekor) dengan cara integrasi masing-masing sebesar Rp 24.867.500 dan Rp 60.675.333 per musim. Nilai R/C yang dihasilkan sistem integrasi sebesar 1,44 sedang dari petani tradisional 1,33. Sistem usahatani integrasi dengan skala padi seluas 5 ha dan sapi 20 ekor meningkatkan pendapatan sebesar 69% per musim, dibanding usahatani tradisional. Sistem usahatani integrasi-padi-ternak perlu dikembangkan pada usahatani skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani.
Pengembangan Agroindustri Bahan Pangan untuk Peningkatan Nilai Tambah melalui Transformasi Kelembagaan di Pedesaan Elizabeth, Roosganda
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tepung merupakan salah satu bentuk hasil olahan primer yang dibutuhkan oleh industri berbagai jenis makanan. Tepung kasava berpeluang memiliki daya saing tinggi sebagai bahan substitusi tepung terigu. Pengembangan teknologi pengolahan tepung merupakan penunjang pengembangan agroindustri bahan pangan di pedesaan, yang memerlukan teknologi inovatif pascapanen. Berbagai aspek dan simpul kritis kelembagaan perlu diperhatikan dalam proses transformasi kelembagaan tradisional, dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri bahan pangan di pedesaan dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Pengembangan agroindustri perlu terkait dengan keberhasilan produksi pertanian, keragaman dan tingkat permintaan pasar, disertai oleh kelengkapan regulasi dan peraturan yang berpihak pada petani produsen bahan baku. Dengan perbaikan dan pengembangan teknologi pengolahan, kualitas tepung yang komparatif dan berdaya saing tinggi dapat dicapai. Di samping perbandingan harga yang relatif lebih rendah, berbagai aspek terkait dengan kualitas tepung kasava sebagai substitusi tepung terigu perlu distandardisasi. Pengembangan kelembagaan ketenagakerjaan dalam bentuk pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan SDM dalam pembuatan produk olahan sangat dibutuhkan dalam mendukung pengembangan agroindustri di pedesaan.
Strategi Pengembangan Produksi Menuju Swasembada Kedelai Berkelanjutan Sumarno Sumarno; M. Muchlish Adie
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pencukupan kebutuhan produksi kedelai nasional telah diprogramkan sejak tahun1963, diteruskan dalam beberapa tahapan PELITA periode 1983-1998. Pada tahun 2000an diprogramkan swasembada melalui Gema Palagung dan Gerakan Kedelai Bangkit, dan pada tahun 2009 dicanangkan swasembada kedelai pada 2014. Program tersebut nampaknya sukar berhasil karena peningkatan luas areal panen kurang nyata dan tidak permanen. Untuk mencapai produksi kedelai pada tingkat swasembada perlu penambahan luas areal tanam dua juta ha, padalahan kering bukaan baru, yang secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan kedelai. Lahan sesuai untuk tanaman semusim menurut BBSDLP tersedia 7,1 juta ha, perlu direklamasi dan dilakukan ameliorasi untuk budi daya kedelai. Keuntungan perluasan areal tanam kedelai di lahan kering adalah: (1) tidak terjadi persaingan antarkomoditas, (2) penambahan areal tanam bersifat berkelanjutan, (3) skala usaha petani dapat dioptimalkan, dan (4) kenaikan produksi kedelai lebih nyata. Usahatani kedelai komersial (soybean farming) skala 8-10 ha setiap petani merupakan langkah rintisan dalam membangun pertanian maju yang berdaya saing secara internasional, dan memberikan kehidupan yang layak bagi petani. Teknologi produksi kedelai pada lahan kering yang mampu menghasilkan hingga 2 t/ha telah tersedia dan siap diaplikasikan pada skala luas. Teknik produksi kedelai perlu memasukkan mekanisasi terpilih, termasuk untuk penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, dan pembijian. Peralatan mesin pertanian untuk kegiatan tersebut telah tersedia dan tidak memerlukan perawatan yang sulit. Insentif ekonomi berupa tingkat harga yang tinggi dan stabil, melalui proteksi dari persaingan produk impor yang berlebihan, perlu diberlakukan. Tanpa adanya alokasi peruntukan lahan yang definitif dan permanen untuk berproduksi kedelai, sangat sulit bagi Indonesia berswasembada produksi kedelai.
Peningkatan Produksi Jagung melalui Penerapan Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Hadijah A. D.
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jagung di Sulawesi Selatan merupakan tanaman pangan penting kedua setelah padi. Secara tradisional jagung dibudidayakan di lahan kering pada musim hujan, jarang ditanam pada lahan sawah berpengairan terbatas. Rotasi tanaman pada lahan sawah berpengairan terbatas adalah padi-bera. Pada saat harga jagung rendah sebelum tahun 2000, pada lahan sawah yang biasanya diberakan setelah panen padi sehingga tidak memberikan insentif ekonomi bagi petani. Dengan semakin meningkatnya permintaan jagung untuk industri makanan, minyak, dan pakan ternak serta untuk ekspor, harga jagung meningkat dan dapat memberi keuntungan bagi petani jika menanam jagung. Di Sulawesi Selatan sebagian besar petani membiarkan lahan sawah bera setelah panen padi. Penelitian dengan pendekatan pengelolahan tanaman terpadu (PTT) pada jagung dilaksanakan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada musim kemarau 2006, pada lahan sawah berpengairan terbatas setelah panen padi sawah. Luas areal penelitian 3 ha, melibatkan sepuluh petani. Komponen teknologi PTT yang diterapkan adalah varietas Lamuru dengan benih 20 kg/ha, dosis pupuk 250 kg urea + 100 kg SP36 + 50 kg KCl/ha. Lahan tidak diolah, disemprot herbisida, dan suplementasi air irigasi pompa diberikan empat kali. Total biaya produksi Rp 2,5 juta/ha. Produksi jagung bervariasi antara 2,8-6,0 t/ha, rata-rata 4,5 t/ha biji kering. Dari hasil jagung 4,5 t/ha diperoleh nilai jual Rp 7,2 juta/ha, sehingga pendapatan rata-rata Rp 4,7 juta/ha, dan B/C ratio 1,88. Pendapatan padi pada musim tanam utama Rp 4,1 juta/ha, sehingga petani memperoleh pendapatan dua kali lipat dari biasanya, bila menanam jagung setelah padi sawah. Lahan sawah berpengairan terbatas dan sawah tadah hujan yang diberakan di Sulawesi Selatan sangat luas. Pemanfaatan lahan bera tersebut untuk budi daya jagung akan meningkatkan produksi jagung regional dan nasional, serta meningkatkan pendapatan petani, yang akan berdampak terhadap ekonomi pedesaan. Penanaman jagung pada lahan sawah, yang biasanya diberakan di Sulawesi Selatan memerlukan penyuluhan dan bimbingan teknis dalam model penelitian PTT, guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi petani dalam proses adopsi teknologi.
Peluang Pengembangan IP Padi 400 di Lahan Sawah Irigasi Erythrina Erythrina
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dengan menerapkan IP Padi 400 berarti petani dapat menanam dan memanen padi empat kali dalam setahun pada hamparan lahan sawah yang sama. Studi IP Padi 400 di tingkat petani dilaksanakan di Desa Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, pada kelompok “Tani Jaya” sebagai responden, diikuti dengan focus group discussion (FGD) pada bulan Juli 2009. Kelompok Tani Jaya menggunakan varietas Srijaya, berumur 76 hari pada MK dan 80 hari setelah tanam pada MH (15 hari di pesemaian) atau berumur 91 hari pada MK dan 95 hari pada MH dari biji ke biji. Bila menggunakan varietas Memberamo dan IR64, petani memerlukan waktu 13 bulan, sedangkan dengan varietas Srijaya bisa empat kali tanam dalam 12 bulan. Total hasil panen yang diperoleh 23,4 t GKP/ha/tahun, hasil gabah lebih tinggi pada MK dibanding MH. Hasil panen bersih 18,7 t GKP/ha/tahun (setelah dipotong bawon 20% untuk biaya tanam dan panen) dan harga jual gabah di sawah Rp 2.000.000/ton, petani memperoleh pendapatan kotor Rp 37,376 juta/ha/tahun. Dengan biaya usahatani berkisar antara Rp 2,5-3 juta/musim tanam, petani memperoleh keuntungan bersih yang cukup tinggi. Rancangbangun peningkatan produksi untuk mencapai IP Padi 400 harus mempertimbangkan: (1) aspek budaya masyarakat seperti tenaga kerja yang “industrius” (bekerja cepat, efisien, tidak santai), (2) ketersediaan air minimal 11 bulan dalam setahun, (3) ketersediaan alsintan pendukung yang cukup, (4) varietas padi berumur sangat genjah sampai ultra genjah, dan (5) ketersediaan modal-sarana produksi pada waktu diperlukan. Untuk pengembangan IP Padi 400 diperlukan: (a) inventarisasi wilayah pengembangan, (b) perbaikan prasarana irigasi, (c) mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi, dan (d) sosialisasi program berkaitan dengan budaya masyarakat. Disarankan Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, digunakan sebagai laboratorium lapang untuk penelitian IP Padi 400 yang lebih komprehensif, mencakup aspek kimia tanah, lingkungan, hama dan penyakit, serta sosial dan budaya masyarakat.
Pencitraan Ubikayu sebagai Sumber Karbohidrat untuk Diversifikasi Pangan Nani Zuraida
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 1 (2010): Juli 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bahan pangan pokok bangsa Indonesia yang terdominasi oleh satu komoditas utama beras, dinilai kurang menjamin keberlanjutan ketahanan pangan nasional, karena produksi beras nasional tidak selalu terus dapat ditingkatkan. Ketersediaan ubikayu yang kaya energi dan lebih mudah diproduksi dibandingkan beras perlu digalakkan pemanfaatannya sebagai bahan pangan pokok alternatif, sehingga bersifat substitutif terhadap konsumsi beras. Produk olahan kue basah, mie, kue kering, biskuit, kerupuk dan sejenisnya menggunakan bahan berasal dari ubikayu yang jumlahnya cukup besar, tetapi tidak dapat secara nyata menjadi substitusi terhadap konsumsi beras. Oleh karena itu, usahatani ubikayu harus dibagi menjadi dua fungsi, yaitu menyediakan bahan baku industri, termasuk industri pakan ternak, dan menyediakan bahan pangan pokok berasal dari umbi segar. Agar ubikayu diterima sebagai bahan pangan pokok altenatif, perlu peningkatan citra olahan ubikayu menjadi makanan yang modern dan bergengsi tinggi. Contoh produk olahan bercitra tinggi antara lain adalah mashed cassava atau kasava tumbuk mentega (kastumen), singkong goreng keju (singgorju) dan singkong kukus berbumbu (singkubu). Jenis olahan ubikayu tersebut perlu diperkenalkan melalui restoran, pesta diner formal, restoran-hotel, restoran cepat saji, dan masyarakat kelas atas, agar ditiru oleh masyarakat menengah ke bawah.Penyediaan varietas unggul ubikayu yang bermutu olah tinggi perlu digalakkan agar pilihan varietas lebih banyak. Pada waktu sekarang tersedia varietas Valenca, Adira 1, Malang 1, dan Malang 2, yang dapat dianjurkan sebagai food cassava atau ubikayu untuk pangan. Citra ubikayu perlu disejajarkan dengan kentang, gandum, beras, jagung, dan semua jenis tanaman, karena kedudukannya sama dihadapkan Sang Maha Pencipta.

Page 1 of 1 | Total Record : 8